Sabtu, 23 November 2024

Mengangkat Derajat Kopi Luwak dari Lereng Kelud

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Seekor luwak beserta kotorannya yang ada di salah satu kandang di Kampung Luwakmas, Kediri. Kotoran yang berbentuk biji kopi inilah yang dijadikan bahan kopi luwak. Foto : Taufik suarasurabaya.net

Sudikah anda membayar Rp2 juta hanya untuk sekilo serbuk kopi ? Bagi penikmat kopi sejati, tentu tak perlu risau jika yang ditawarkan adalah kopi jenis luwak. Apalagi, butiran kopi yang keluar bersama kotoran luwak memang melahirkan citarasa yang tak ada duanya. Harum dan bahkan mampu mengurangi kafein penyebab asam lambung.

Sebuah penelitian memang menunjukkan, selama proses pencernaan, enzim proteolytic luwak mampu memecah protein kopi. Protein adalah faktor utama yang bertanggung jawab atas kepahitan kopi, protein yang berkurang menyebabkan kadar kepahitannya pun terkikis. Namun, di sisi lain, keharuman kopi akan semakin khas.

Tingginya harga kopi luwak, kini telah menjadi berkah bagi peternak luwak. Salah satunya bagi pemilik Kampung Luwakmas Kediri. Di rumah yang kini disulap menjadi kawasan wisata Kampung Luwak di kawasan Pranggang, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri itu, harga secangkir kopi dibanderol Rp30 ribu, harga ini khusus untuk warga pribumi, tapi jika yang beli wisatawan asing, maka harganya langsung dinaikkan menjadi Rp40 ribu.

Tak hanya menyediakan kopi siap minum, di rumah itu, Yekti Murih Wiyati, pemilik, juga menyediaan kopi bungkus yang dibanderol Rp200 ribu untuk satu ons serbuk kopi atau setara dengan 20 takaran cangkir kecil kopi. Bagi yang berkantong tipis, juga disediakan dalam kemasan lebih kecil dengan harga Rp10 ribu untuk serbuk kopi dengan takaran satu cangkir.

Usaha yang baru dirintis sejak 2011 ini memang membidik pasar menengah-atas. Hal itu bisa dilihat dari varian harga serta para peminatnya, dari tingkat lokal, peminat terbesar berasal dari elit sosial dan pemerintahan, baik yang berasal dari Kediri maupun dari luar kota.

Sementara untuk kelas luar negeri, banyak turis yang ke Kediri selalu mampir dan mencicipi kopi luak khas yang berasal dari perkebunan di lereng Gunung Kelud ini. Beberapa turis yang telah mampir diantaranya dari Belanda, Australia, Italia, Jerman, Jepang, Singapura hingga Rusia.

Lokasinya yang tak jauh dari Gunung Kelud menjadikan para wisatawan asing ini selalu menyempatkan diri mampir ke Kampung Luwakmas sepulang dari perjalanan di Puncak Kelud. Tak jarang, para turis ini juga minta dikirimi kopi khusus ke rumah mereka di luar negeri.

Meski terbilang mahal, tapi dalam setahun, sedikitnya satu ton kopi diproduksi di rumah yang memiliki koleksi 60 ekor luwak jenis pandan ini.

Sayang, kampung ini tak bisa memproduksi kopi selama setahun penuh. Kopi arabica yang ada di Lereng Kelud hanya berbuah di bulan April-November. Di luar itu, Kampung Luwakmas kesulitan mencari biji kopi.

Untuk menjaga citarasa, selain hanya mengandalkan kopi asli dari Lereng Kelud, Yekti juga menghindari kopi luwak yang dipaksakan. Kopi dari Lereng Kelud diyakini lebih harum karena tanahnya subur berkah letusan gunung. “Kopi kelud sudah sejak berbuah rasanya sudah khas, berbeda dengan kopi lainnya,” ujarnya.

Biji kopi yang disajikan untuk dimakan luwak juga haruslah yang benar-benar matang pohon. Jika tidak, maka cangkang kopi mudah terkelupas. Akibatnya, biji kopi juga tak akan sempurna dan mudah hancur.

Selain itu, proses pengolahan kopi luwak juga dilakukan dengan teliti dan sempurna. Misalnya proses pengeringan biji kopi yang telah keluar bersamaan dengan kotoran luwak, minimal harus dijemur selama dua minggu untuk menghilangkan kadar air. Semakin rendah kadar air dalam kopi akan menjadikan aroma yang keluar lebih berasa.

Setelah dikeringkan, proses selanjutnya adalah menghilangkan cangkang kopi untuk selanjutnya dilakukan penumbukkan dan jadilah serbuk Kopi Luwak dengan kadar keharuman dan rasa yang khas.

Bermula dari sang anak

Yekti yang merupakan istri dari pemilik pabrik Rokok Tadji Mas ini tak perah berfikir terjun pada bisnis kopi. Apa yang kini dia tekuni bermula dari sang anak, Ivander Moch, 17 tahun. Pada 2011 silam, Ivander yang menjadi pelajar di SMPN 1 Kediri sempat mengikuti Study Banding tentang kekayaan kopi Indonesia di Singapura.

Dari hasil kunjungan itu, dia diminta tutornya untuk mencoba melakukan budidaya Kopi Luwak. Dia lantas mencoba membeli seekor luwak dari pasar. Cara untuk menciptakan Kopi Luwak juga sederhana cukup memberikan makan kopi, lantas kotoran luwak berupa biji kopi dikeringkan, dibersihkan dan digiling.

Tanpa dia duga, orang tuanya ternyata menyukai kopi hasil ciptaan Ivander ini. Yekti yang mengetahui potensi kopi luwak lantas mendorong anaknya untuk menekuni bisnis ini. Saat itu, keluarga ini lantas mencari luwak di Malang dan mendapatkan sekitar 40 ekor. Bisnispun langsung mereka tekuni.

Kini, di pekarangan rumahnya, Yekti telah memiliki 50an luwak. Dari jumlah ini, perharinya menghasilkan sebanyak 20-30 kg kopi. “Yang kami berikan ke luwak (untuk dimakan) sebanyak 80 kilo gram perhari, tapi yang dimakan memang hanya 20-30 kilo gram,” kata Dwi Kristiani, bagian pakan di Kampung Luwakmas.

Untuk merawat luwak sebanyak itu, kini Kampung Luwakmas telah memiliki 20 karyawan. Ada yang khusus berikan pakan, nutrisi serta merawat luwak, ada juga yang bagian penjemuran, serta bagian giling, juga ada yang kusus menjadi pemandu bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Luwakmas.

Dari pecinta binatang hingga fatwa Majelis Ulama

Merawat luwak ternyata tak sulit, tapi biaya perawatan memang cukup tinggi. Selain memberikan pakan berupa kopi, luwak juga harus diberikan pakan berupa buah pepaya dan pisang sebagai makanan pokok. Selain itu, luwak juga harus selalu diberikan minuman berupa susu segar.

Luwak-luwak ini juga harus terpisah skat kandang. Jika tidak, maka mereka akan bertengkar yang ujung-ujungnya akan membuat kecacatan pada luwak. “Kami sangat hati-hati karena bisnis ini memang dapat sorotan dari pecinta binatang,” kata Yekti Murih Wiyati, pemilik Kampung Luwakmas.

Luwak yang akan berproduksi juga haruslah luwak yang sudah berusia minimal dua tahun. Jika terlalu muda, maka pencernaan luwak memang belum kuat untuk makan biji kopi. Begitupula diatas lima tahun, luwak juga harus diganti dengan luwak baru.

Bisnis kopi luwak memang sedang berada dalam sorotan sejumlah lembaga atau aktivis lingkungan. Bahkan People for The Ethical Treatments of Animals (PETA) sempat mengkampanekan untuk stop mengkonsumsi kopi luwak. Sebab, berdasarkan investigasi organisasi pemerhati hak-hak hewan ini, hampir seluruh kopi luwak merupakan hasil produksi luwak kandang, dan bukan luwak liar.

“Ini pemaksaan, jelas melanggar prinsip animal welfare (kesejahteraan hewan),” kata Prasto Wardoyo, juru bicara Forum Konservasi Satwa Liar (FOKSI) Jawa Timur, ketika berbincang dengan suarasurabaya.net.

Padahal, memelihara hewan apapun jenisnya, minimal harus memenuhi lima kaidah kesejahteraan bagi hewan, yaitu bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alami, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit atau luka, bebas dari rasa takut, dan bebas dari rasa lapar dan haus.

Padahal dengan meletakkan luwak di dalam kandang, bisa dipastikan hewan tersebut tak akan memiliki kebebasan untuk melampiaskan tingkah laku alamiahnya.

Memproduksi kopi luwak sebenarnya tidak dilarang, asalkan itu benar-benar berasal dari luwak alam yang secara alami juga memakan kopi. Tapi jika produksi kopi hasil dari kandang, jelas telah melanggar lima prinsip kesejahteraan hewan.

Sementara itu, pihak Kampung Luwakmas sendiri mengatakan, kopi luwak hasil dari luak liar dipastikan tidak akan berhasil karena luwak liar dipastikan akan memakan aneka makanan sehingga apa yang dikeluarkan luwak sangat kotor. Apalagi, luak merupakan binatang yang cukup unik karena kotorannya akan menyesuaikan apa yang dia makan.

Misalnya jika makan ayam, maka akan mengeluarkan kotoran yang menyerupai abon ayam, begitu juga jika makan ikan. Tapi jika makanan yang masuk ke dalam perut bercampur, maka kotoran yang dikeluarkannya juga bercampur. Alhasil, kopi yang keluarpun juga bercampur dan menghilangkan aroma harum khas kopi luwak.

Tak hanya pecinta binatang, kopi luwak juga sempat menuai perdebatan panjang khususnya dari kalangan Majelis Ulama. Kopi yang hakikatnya adalah kotoran dari luwak inipun akhirnya diputus halal melalui fatwa MUI bernomor 4, tertanggal 20 Juli 2010 silam.

“Dalam fatwa itu, kopi luwak halal asalkan telah melalui pencucian terlebih dahulu,” kata Imam Tabrani, Sekretaris MUI Jawa Timur. Menurut dia, status biji kopi luwak sebenarnya adalah mutanajis, atau benda yang terkena najis.

Mutanajis itu jika dibersihkan, dan dicuci, maka akan menjadi suci dan halal. Hasil kajian yang dilakukan MUI juga menunjukkan jika yang dimakan luwak hanyalah kulit luar dari buah kopi sehingga butiran kopi masih utuh. Bahkan butiran kopi dari perut luwak ini jika dibersihkan dan ditanam ternyata masih bisa tumbuh. “Alasan ini yang menjadikan MUI sepakat untuk menghalalkan kopi luwak,” ujarnya.

Fatwa inilah yang menjadikan bisnis kopi luwak kini memang terus bergeliat. Kampung Luwakmas di Kediri salah satunya, bisnis yang tak sengaja itu akhirnya kini membesar dan menjadi salah satu tujuan wisatawan saat berkunjung ke Gunung Kelud.

Wibowo Eko Putro, Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur mengatakan potensi kopi Kediri memang cukup menjanjikan. Di Jawa Timur total lahan kopi saat ini mencapai 58.622 hektar dan mampu menghasilkan 28.003 ton kopi pertahuan. Dari jumlah ini, yang terbesar sebenarnya Kabupaten Malang dengan 11 ribu hektar lahan, sedangkan Kabupaten Kediri hanya 1,6 ribu hektar. Meski kecil, tapi kualitas kopi Kediri memang menjadi andalan. “Kopi dari lereng Kelud memang andalan dan beberapa tahun belakangan ini selalu diburu,” kata dia.

Karenanya, tak heran jika bisnis kopi Kediri saat ini terus bergeliat. Apalagi, jika kopi tersebut merupakan kopi luwak yang memang sudah dikenal memiliki citara khas dan harum. Eko hanya berharap, aneka masalah yang menyertai hadirnya kopi luwak segera diakhiri. “Para perajin kopi luwak harus mulai memperhitungkan jangan hanya jadikan luwak sebagai komoditi, luwak sebagai binatang memang harus dirawat dengan baik,” kata dia.

Dengan merawat luwak, Eko berharap bisnis kopi luwak dari Jawa Timur terus menjamur yang ujung-ujungnya mampu memberikan kesejahteraan tak hanya bagi produsen kopi melainkan juga bagi petani. (fik)

Teks Foto :
-Proses pengeringan biji kopi luwak di Kampung Luwakmas, Kediri.
-Yekti Murih Wiyati, pemilik Kampung Luwakmas, bersama Ivander Moch, menunjukkan biji kopi luwak.
-Sejumlah turis asing berpose di depan Kampung Luwakmas Kediri.
Foto-foto : Taufik suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs