Perempuan lebih sering mengalami gangguan bipolar atau gangguan jiwa bersifat episodik yang ditandai dengan gejala-gejala perubahan suasana hati seperti mania, hipomania, depresi dan campuran.
“Ini karena terkait hormonal, yakni hormon estrogen yang mempengaruhi mood perempuan. Misalnya saat haid, hamil, pasca melahirkan, pre-menopause dan menopause. Pada saat itu hormon estrogen bisa terganggu,” kata Dr. dr. Nurmiati Amir, SpKJ (K), Wakil Ketua Seksi Bipolar dan Gangguan Mood lainnya pada Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia di Jakarta.
Dia menjelaskan, gangguan bipolar kemungkinan muncul pada perempuan setelah melahirkan. Pada saat itu, perempuan bisa mengalami depresi yang umumnya dipicu oleh masalah berat disertai gangguan psikotik berupa gangguan pada kemampuan menilai realita.
“Saat perempuan mengalami depresi pasca-melahirkan, kemungkinan munculnya gangguan bipolar besar. Hanya mania saja yang belum muncul. Jadi enggak bisa dianggap enteng depresi pasca-melahirkan itu,” katanya yang dilansir dari Antara, Selasa (19/8/2014).
Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki episode atau klasifikasi berdasarkan keadaan mood atau suasana hati yakni depresi, mania, hipomania, normal dan campuran.
Nurmiati menjelaskan, gejala-gejala gangguan bipolar dapat dikenali melalui sejumlah ciri seperti ekspresi murung, mudah tersinggung, kehilangan rasa senang, konsentrasi dan daya ingat menurun, munculnya pikiran bunuh diri, menarik diri dari kehidupan sosial serta sulit tidur pada saat depresi.
Penderita gangguan bipolar juga kadang gembira berlebihan, mudah marah, konsentrasi buruk, terlalu percaya diri, kebutuhan tidur kurang, banyak bicara dan energi meningkat. Kondisi ini umumnya terjadi dalam episode mania.
Adakalanya mereka berpikir optimis namun tidak realistis, gejala seperti pada episode mania muncul, namun lebih ringan dan waktunya lebih pendek. Ini berarti ia mengalami episode hipomania.
Adakalanya penderita mengalami gangguan depresi dan mania bersamaan dalam episode campuran.
Ia menambahan, dalam pengobatan penderita gangguan bipolar diperlukan usaha pasien untuk hidup teratur mengikuti psikoterapi, terapi keluarga dan kelompok.
“Gangguan bipolar itu sifatnya kronik. Kapan saja bisa kambuh. Oleh karenanya, pengobatan komprehensif harus terus menerus dilakukan… Saat pengobatan dihentikan, ada risiko gangguan ini bisa kambuh,” katanya. (ant/ain)