Perbedaan pendapat, keyakinan dan keinginan kerap menjadi perpecahan dan menimbulkan pertikaian diantara manusia. Apalagi di Indonesia, negara kepulauan yang terkenal kaya akan keragaman.
Jika keragaman tersebut tidak diisi dengan toleransi dan semangat kebhinekaan, maka akan sulit mewujudkan kerukunan dan kedamaian.
Semangat kebhinekaan inilah yang dicerminkan para pengurus Masjid Cheng Hoo Surabaya dalam menunaikan ibadah sholat tarawih. Dimana dalam pelaksanaannya dilakukan dua gelombang. Delapan rakaat, tiga witir dan 20 rakaat, tiga witir.
Ust. Hasan Basri, Pengurus Masjid Cheng Hoo mengatakan dengan banyaknya organisasi Islam di Indonesia, maka versi beribadah pun berbeda-beda. Misalnya seperti perbedaan jumlah rakaat tarawih antara NU dan Muhammadiyah.
“Perbedaan itu indah kok kalau kita mau toleransi. Dan di Cheng Hoo Surabaya kami tidak memihak organisasi Islam manapun. Pedoman kami beribadah ialah Qur’an dan Hadist,” katanya saat ditemui suarasurabaya.net.
Menurutnya, sholat tarawih dua gelombang saat ini sudah banyak diterapkan di berbagai masjid utamanya masjid besar. Hanya uniknya di Masjid Cheng Hoo, sholat witir dilakukan dua kali dengan imam yang berbeda.
“Kalau dulu itu memang tersegmen sekali. Masjid yang sholat 11 rakaat sendiri, dan yang 23 rakaat sendiri (taraweh+witir). Namun sekarang sudah banyak yang terbuka, warga bebas memilih,” jelasnya.
Biasanya, ia menambahkan, imam sholat tarawih akan berhenti sejenak di rakaat kedelapan untuk memberi kesempatan jamaah mundur. Kemudian dilanjutkan kembali hingga 20 rakaat dan tiga witir.
Sedangkan di Cheng Hoo, sejak awal berdiri 2003 silam memang menerapkan dua gelombang dengan dua witir dan dua imam. “Ini mengapresiasi keinginan masyarakat waktu itu. Mereka meminta usai delapan rakaat ada witir, kalau lanjut di rumah bisa ngantuk,” papar Ust. Hasan.
Jadi, bagi jamaah yang akan melanjutkan gelombang kedua dengan 20 rakaat harus menunggu sejenak. Sedangkan imamnya sendiri mayoritas para hafiz dari Masjid Ampel.
Jamaahnya pun terus bertambah dari tahun ke tahun dan berasal dari berbagai tempat. Tujuannya beragam, dari sekadar ikut sholat sampai ingin tahu lebih seperti apa Masjid Cheng Hoo.
“Nggak hanya muslim Tionghoa yang datang, muslim Arab dan Jawa pun ikut sholat bersama di sini. Kalau lagi ramai bisa sekitar 1.500 lebih jamaah yang datang,” tuturnya.
Setelah sholat, jamaah dari jauh biasanya melihat-lihat isi masjid yang dibangun dengan arsitektur unik dan memiliki makna di setiap sudutnya. Masjid ini didirikan komunitas muslim Tionghoa dan berlokasi di Jalan Gading, Ketabang, Kecamatan Genteng, Surabaya. (ain/ipg)