Sukarman, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Unesa mengatakan sangat mengapresiasi kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Timur yang mewajibkan bahasa daerah diajarkan atau masuk muatan lokal dari tingkat SD sampai SMA Sederajat. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No 19 tahun 2014.
Namun, aturan ini membawa dampak yang luas karena jumlah sekolah yang ada tidak sebanding dengan jumlah guru bahasa daerah bersertifikasi.
“Tentu ini harus ada kebijakan, karena akan membawa dampak yang luas.Berapa banyak jumlah sekolah yang ada di jatim dari SD sampai SMA. Sedangkan guru yang sudah S1 dan bersertifikasi jumlahnya tidak mencukupi. Di Jatim saja, Prodi Bahasa Daerah hanya ada di Unesa,” terangnya.
Menurutnya, sebenarnya untuk memenuhi tenaga pengajar bahasa daerah bisa mengambil dari Provinsi Jawa Tengah maupun Yogyakarta asal Program Studi (Prodi) yang mengeluarkan sarjana strata-1 bahasa daerah sudah terakreditasi.
“Namun itu biasanya guru untuk bahasa jawa sedangkan untuk bahasa madura ini mengalami kesulitan. Karena belum ada S1 bahasa madura,” pungkasnya.
Berdasarkan Pergub, di Jatim ada dua bahasa daerah yang wajib dipelajari yakni bahasa jawa dan bahasa madura.
Untuk menjawab berbagai problem yang ada, Sukarman mengaku pihaknya telah melakukan pertemuan dengan beberapa pihak terkait, seperti kepala sekolah untuk membahas solusi atau langkah alternatif untuk memenuhi tenaga pengajar bahasa daerah baik secara kuantitas maupun kualitas.
“Ada beberapa alternatif, diantaranya pertama sebagai ujung tombak awal akan memindahkan pengajar S1 di SMP ke tingkat SMA. Atau guru-guru yang serumpun kita KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan) mata pelajaran bahasa daerah selama dua semester. Ini alternatif jangka pendek,” jelas dia.
Sementara itu, secara kualitas ia yakin lulusan S1 bahasa daerah sudah bagus, meski ada penurunan minat dan semangat. “Kalau kualitas lulusan S1 sudah bagus dan dari tahun ke tahun tetap sama. Namun kalau soal minat dan semangat mengajar memang ada penuruan, karena fenomenanya bahasa daerah sudah jarang digunakan dan tidak jadi bahasa ibu,” katanya. (ain)
Foto: Ilustrasi