Akil Mochtar Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui pertemuannya dengan Gubernur Banten non-aktif, Ratu Atut Chosiyah di kantor imigrasi di Bandara Singapura, dan bukan di Hotel JW Marriot Singapura.
Pengakuan itu disampaikan Akil dalam persidangan dengan terdakwa Ratu Atut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (12/6/2014).
“Hanya saat itu saja waktu bertemu di konter imigrasi itu,” kata Akil menjawab pertanyaan Tim Penasehat Hukum Ratu Atut seperti ditulis Antara.
Akil menyangkal dalam pertemuannya dengan Atut di Bandara Singapura tidak ada pembicaraan tentang janji pemberian uang untuk mengurus perkara sengketa pemilihan kepala daerah Lebak di Mahkamah Konstitusi pada 2013.
Akil mengatakan pembicaraan dengan Ratu Atut hanya terkait pengurusan pemangku jabatan di Kabupaten Lebak saat sengketa Pilkada Lebak karena Ratu Atut menjabat sebagai Gubernur Banten.
“Saya sudah katakan saya berobat. Saya sudah konsultasi tiga kali. Dalam rangka itu ketemu, kebetulan bertemu,” ujar Akil, tentang pertemuannya dengan Ratu Atut di Singapura.
Dalam persidangan itu, Atut yang menjadi terdakwa juga bertanya apakah dirinya pernah berjanji memberikan uang kepada Akil. Tapi, Akil membantah ada janji itu.
Pada persidangan 6 Maret, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Ratu Atut dan adiknya Tubagus Chaeri Wardhana Chasan alias Wawan bertemu dengan Akil Mochtar di Singapura untuk meminta bantuan pemenangan perkara sengketa Pilkada Lebak.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Edy Hartoyo mengatakan bahwa terdakwa Wawan bersama Ratu Atut bertemu dengan Akil pada 22 September 2013 di lobi Hotel JW Marriot Singapura. “Dalam pertemuan tersebut Ratu Atut meminta Akil Mochtar untuk membantu memenangkan Amir Hamzah dan Kasmin dalam perkara terkait Pilkada Lebak, dan akan menyediakan uang untuk pengurusan perkaranya melalui terdakwa,” papar Edy.
Dalam perkara itu jaksa KPK menjerat Atut dengan pasal 6 ayat 1 huruf a subsider pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta.
(ant/rst)