Beragam pengamat menilai apa yang diungkapkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam debat perdana di Balai Sarbini Jakarta, Senin (9/6/2014) malam bukanlah hal yang baru. Bahkan ada beberapa kebijakan yang dinilai malah rawan memicu perlawanan dari pemerintah daerah.
Mas’ud Said, Anggota Dewan Pakar Ilmu Pemerintahan Indonesia mencontohkan, apa yang disebut pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai politik anggaran yang akan membatasi anggaran untuk pemerintah daerah bisa memicu konflik antara daerah dan pusat.
Berdasarkan data di Kementerian Keuangan memang menunjukkan jika mayoritas daerah mengandalkan anggaran dari pusat. “Lebih dari 500 kabupaten/kota 85 persen anggaranya dari pusat. Jika anggaran dari pusat dikurangi pasti berpotensi konflik,” kata dia.
Sementara itu, Arif, pengamat politik anggaran dan pengajar Kesejahteraan Sosial di Fisip Unej mengatakan strategi politik anggaran ini juga berpotensi memunculkan arogansi pemerintah pusat terhadap daerah.
Pemerintah pusat, kata dia, tidak boleh menggunakan model politik anggaran seperti itu untuk mendisiplinkan daerah. “Kalau kebijakan pemerintah pusat tidak pas ke daerah, masak tidak boleh beda. Justru harus tuntas dulu sosialisasinya sebelum melaunching kebijakan itu. Jadi jangan dikaitkan dengan pemotongan anggaran,” kata dia.
Arif menyarankan agar politik anggaran diterapkan dengan standar operasi prosedur yang jelas. Misalnya, ada ketentuan dari pemerintah pusat kepada daerah yang mewajibkan penggunaan sekian persen anggaran dana alokasi umum atau khusus untuk kepentingan rakyat miskin.
Agus Krisnanto pengamat politik dari Universitas Negeri Surabaya menilai politik anggaran seperti ini dikawatirkan malah menimbulkan resistensi pemerintah daerah. Dia mengkhawatirkan, penilaian antara pusat cenderung subyektif dan hanya akan mengakomodir daerah yang dianggap sejalan dengan kebijakan pusat. “Akan terjadi sentralisasi kebijakan,” ujarnya. (fik)