Piala Dunia jadi etalase pemain kelas dunia unjuk kelasnya. Semakin ‘moncer’ mereka bermain membela negaranya, semakin menanjak juga pasarannya di bursa transfer. Pemandu bakat ‘blusukan’ mencari ‘tambang emas’ baru. Ada kalanya eksplorasi di Piala Dunia berujung keuntungan multi juta dollar. Tapi tak sedikit yang ‘buntung’. Hebat di Piala Dunia, ditransfer mahal tapi ‘busung’ di klub.
Simon Kuper penulis buku Soccernomics mengungkapkan, turnamen semacam Piala Amerika. Piala Dunia, dan Piala Eropa, mengubah nilai transfer jadi tidak wajar. Klub tidak segan mengeluarkan dana berlebih untuk transfer pemain.
‘Pemain bernafsu pindah ke klub besar untuk mendapatkan gaji lebih besar, sementara klub-klub kaya rela mengeluarkan uang untuk mereka,’ ujarnya. Pada kenyataannya, banyak klub sering salah melakukan strategi transfer pemain.
Medio 1999 misalnya, Real Betis membeli denilson Oliveira gelandang lincah asal Brasil yang melejit sesudah tampil di Copa Amerika. Betis membayar 21 juta Poundsterling untuk Sao Paolo, mantan klubnya. Nilai ini mengangkat Denilson sebagai ‘Pemain Termahal Sedunia’.
Apakah gelar ini sebanding dengan prestasinya? Tidak. Denilson gagal total. Selama 8 musim berkostum Betis, cuma 13 gol yang dia lesakkan.
Fenomena transfer ala Denilson membuktikan, turnamen besar, pemain hebat, dan nilai transfer fantastis tidak menjamin klub berprestasi.
Simon Kuper menambahkan, Arsenal, Nottingham Forest, dan Lyon membuktikan diri mereka sebagai klub yang irit dalam bursa transfer tapi tetap bisa memoles pemainnya jadi berkilau. Lyon bahkan paling hebat. Oleh Kuper, Lyon disebut sebagai Southampton-nya Perancis. Klub ini malah jadi jawara Liga Perancis 7 musim berturut-turut.
Dinamika transfer pemain memang penuh misteri. Pemain bintang dalam sekejap loncat tim dalam hitungan sekejap. Perilaku ‘kutu loncat’ pemain-pemain seperti ini dikritik Kasey Keller mantan kiper Tottenham Hotspurs asal Amerika Serikat.
Dalam satu wawancara dengan Cristoph Biermann jurnalis asal Jerman, Keller mengistilahkannya sebagai diskriminasi dalam transfer sepakbola.
“Giovanni Van Bronckhorst adalah pemain gagal. Tapi dia menikmati keunggulang diskriminatifnya dengan pindah dari Arsenal ke Barcelona karena dia berasal dari negara yang dipandang lebih tinggi ‘kastanya’ dalam sepakbola,” kata dia. Sementara dia sendiri langsung ‘pulang kampung’ ke Major League Soccer di Amerika Serikat.
Itulah sepakbola, yang sekarang sudah berubah menjadi peradaban baru di bumi dengan beragam aspek termasuk ekonomi dan industrinya.(ded/edy)