Disebut Profesional, Jika Menguasai Minimal Dua Bahasa

Masyarakat dituntut mahir minimal dua bahasa jika ingin tampil maksimal sebagai seorang yang profesional.

Sepintar apapun seseorang jika tidak bisa bahasa Inggris masih belum bisa dikatakan seseorang itu profesional. Demikian Kata Indayati Oetomo Internasional Director John Robert Powers pada Radio Suara Surabaya, Rabu (1/5/2014)

Interpersonal skill, menurut wanita ini juga harus ditunjukkan, orang harus bisa membedakan saat berbicara dengan kawan atau dengan atasan. Komunikasi itu variatif, dari luar orang bisa mengetahui ciri khas pribadinya.

“Kita terlalu dinina bobokkan oleh budaya kita. Kita tidak mau belajar berada comfort zone. Kediaman kita ini justru menunjukkan ketidaktahuan kita, kalau dikasih instruksi langsung siap tanpa bertanya dan akhirnya bertanya lagi,” kata dia.

Kata Indayati, komunikasi itu hal paling utama karena ungkapan tentang wawasan seseorang. Dengan itu, sudah terlihat “dalam”.” Kalau mengemukakan gagasan tanpa ekspresi, kita akan terlihat terlalu menghafal. Seperti kita kuliah, semua dipaparkan. Bukan inti sarinya tapi terlalu banyak berbunga-bunga, menonjolkan dirinya dan bukan kerendahan diri,” ujar dia.

Seperti apa bentuk komunikasi yang baik agar bisa sampai ke lawan bicara, lanjut dia, harus memahamai apa yang disampaikan lawan bicara begitu pula sebaliknya. Jika level dan bahasa tidak sama maka tidak akan nyambung. Jadi semuanya harus saling “sama rata” memakai bahasa sederhan yang bisa dimengerti oleh semua orang.

“Kualitas vokal seseorang menunjukkan kualitasnya. Vokal ini juga segala-galanya. Intonasi dalam presentasi itu penting. Ada yang capek kalau tidak ada ritmenya. Kadang-kadang itu karena kurang pede,” katanya.

Sementara untuk menghadapi persaingan global, seseorang harus tahu manner. Perjumpaan pertama menentukan karir kita dan jangan low confidence, under estimated atau upper estimated.” Tapi juga jangan terlalu mahir bahasa Inggris, yang penting bisa nyambung,” tambah dia. (dwi/rst)

Foto : Ilustrasi