Pornografi di dunia maya jauh lebih berbahaya dari pada yang ada di dunia nyata. Jika dulu orang tua, cukup tenang melihat anaknya di rumah hanya berdiam diri di kamar. Tapi sekarang justru kuatir, karena anak ketika masuk kamar, buka laptop dan mengakses internet, maka dia bisa mengakses apapun. Godaan yang sulit untuk di hindari anak-anak yaitu cyber porno.
Hal ini disampaikan Bagong Suyanto, Sosiologi Fisip Universitas Airlangga (UNAIR) kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (28/2/2014).
Dia mengatakan, sekarang ada perubahan usia perkawinan. Jika dulu, dua atau tiga tahun lepas masa puber langsung menikah, sehingga proses menahan dirinya cukup pendek. Berbeda dengan keadaan yang sekarang, dimana masa pubertas ana-anak lebih awal, yaitu rata-rata umur 17 tahun, dan untuk menikah selalu umur 25 tahun ke atas.
“Semakin lama menunda waktu pernikahan setelah masa pubertas, maka menahan godaan juga akan lebih lama. Nah selama itu, keinginan untuk melihat lawan jenis, melihat alat kelamin lawan jenis, melihat hal-hal yang berbau seksualitas, itu sedang tinggi-tingginya. Sepanjang tidak ada kegiatan alternatif lain yang sama-sama menariknya, kata dia, libido mereka disalurkan dengan mengakses situs-situs porno itu” kata Bagong Suyanto.
Dunia maya, kata dia, semakin personal bagi anak-anak dan remaja. Banyak remaja yang sangat tertutup di dunia nyata, namun di dunia maya mereka sangat terbuka. Dan saat menelusuri dunia maya itu aman atau tidak, mereka sendiri yang tahu. “Mereka tidak perlu malu kepada temannya, tidak perlu takut kepada orang, mereka bisa menelusuri apapun di internet,” ujarnya.
Saat ini, televisi dan film sepertinya tidak terlalu banyak mempengaruhi terhadap kecenderungan untuk melihat situs-situs porno. Apapun halnya bisa memicu, tapi diluar semua itu karakteristik remaja dalam masa transisi memang dorongan dari dalam luar biasa.
“Persoalan bagaimana mereka menyalurkan hasrat libidonya, apakah bisa menyalurkan dengan arahan sesuai dengan norma agama, atau norma di masyarakat, atau mereka mencari sendiri,” kata dia.
Dia menambahkan, tanpa sadar orang tua juga bisa jadi pemicu. Karena banyak orang tua ketika diajak berbincang masalah seksual dengan anaknya, hal itu justru tabu, anak malah dimarahi, menganggap anaknya sudah kebablasan. Dan sering kali orang tua lupa jika anak bertanya seputar seksualitas tidak dijawab, maka mereka akan mencari jawaban sendiri.
Menurut Sosiologi Unair ini, seksualitas jangan dipandang sebagai masalah yang tabu, tapi orang tua justru harus bisa memberikan arahan kepada anak bagaimana seksualitas itu dihubungkan dengan bagaimana mereka menjaga kehormatan tubuhnya, bagaimana anak semakin bisa menjaga diri, dan anak tidak lupa daratan. Yang terpenting bukan melarang anak, tapi mendampingi dan menjelaskan. Jika perlu orang tua yang menyesuaikan lifestyle anak. (wak/rst)
Foto: Ilustrasi