Bantuan yang diberikan oleh parpol atau kaleg pada korban bencana dalam konteks komunikasi politik bisa menjadi pisau bermata ganda, menimbulkan simpati atau malah jadi alasan untuk benci.
Drs. Suko Widodo, MA Dosen Komunikasi Politik Universitas Airlangga pada Radio Suara Surabaya, Kamis (30/1/2014) mengatakan, dalam komunikasi politik dikenal teori konteks, dimana seseorang menyampaikan pesan di saat yang tidak tepat, malah bisa jadi blunder. Pesan yang diterima bisa jadi diterima beda oleh penerima bantuan.
“Banyak caleg yang memasang benderanya lebih banyak daripada nilai bantuannya. Dalam komunikasi politik, ini bisa jadi simpati atau bisa juga jadi bumerang kalau konteks dan waktunya tidak tepat,” kata dia.
Kata Suko, para caleg boleh datang ke lokasi, tapi jika orang yang diberi bantuan dalam kondisi tidak percaya pada politik, ini bisa mengganggu psikis orang apalagi saat kondisi kritis seperti ini.
“Simbol-simbol yang disertakan dalam bantuan justru bisa mengurangi kemurnian bantuan itu sendiri. Misalnya di Jakarta sering terjadi penolakan sehingga niat baik yang diberikan terkesan upaya memaksa hingga menjadi curiga,” ujar dia.
Apakah dalam etika politik (bantuan bernuansa politik) ini wajar? kata Suko, survey menunjukkan bantuan bencana berlatar politik bisa dengan sangat mudah dilupakan. Lebih buruk lagi, justru jadi rasa antipati.
Sebanyak 62 persen responden dalam survey yang disebut Suko, menyatakan lebih memilih politisi yang ‘menyentuh’ mereka secara langsung. Ini artinya, metode blusukan lebih disukai pemilih daripada sosialisasi menggunakan baliho atau media luar ruang/
“Kemurnian bantuan terkontaminasi atribut politik. Pada konteks ini, kepentingan bukan pada yang dibantu tapi yang membantu. Ini agak masalah, mestinya memenuhi kebutuhan yang dibantu, bukan yang membantu,” katanya.
Suko mengimbau politisi tidak mempolitisir ranah pendidikan, agama dan orang sakit. Politik menjadi indah saat dilakukan pada keadaan sadar, normal, dan terbuka.
“Komunikasi itu ada tiga kemungkinan.Yang pertama skala diterima, pikir-pikir alias butuh waktu, dan yang terakhir, ditolak mentah-mentah akibat buruknya komunikasi politik. Jadi hati-hatilah pada strategi pencitraan,” ujarnya. (dwi/edy)