Umurnya hari ini sudah genap 55 tahun. Namun kecantikan masih tetap dia jaga. Cara bertuturnya seperti masih berusia 40-an, luwes dan fokus, khususnya saat bicara berbagai kenangannya bersama Radio Suara Surabaya.
Namanya Rini Puspita Nindiyah, namun dia biasa disapa Pritta. Perempuan kelahiran Surabaya 24 Januari 1959 itu hampir separuh usianya didedikasikan di dunia radio.
Memulai karier sebagai penyiar di Radio Istara pada 1984, Pritta lantas melanjutkan hobinya bersiaran ke El Shinta di Jakarta hingga akhirnya pada tahun 1989, dia berlabuh ke Suara Surabaya (SS).
“Jiwa saya adalah musik sehingga ketika masuk ke SS langsung diminta menjadi penyiar pada rubrik Mozaik,” kenang Pritta. Di awal berdiri, Suara Surabaya memang tak seperti sekarang yang 100 persen adalah news. Suara Surabaya, saat itu masih mengawinkan antara musik dan news.
Kala itu, Pritta mendapatkan dua jam siaran mulai pukul 09-11 siang. “Jangan bayangkan seperti sekarang, dulu siaran itu harus menyiapkan sendiri kaset yang akan diputar. Tema yang akan saya omongkan juga harus disiapkan sendiri,” ujarnya.
Sebelum siaran, kaset-kaset lagu, biasanya dia jajar di sebuah keranjang kecil yang secara urut kaset-kaset ini sudah disiapkan lagu apa yang akan diputarnya.
“Kadang karena kasetnya sudah rusak ya ruwet jadi di tengah lagu berhenti,” kata Prita. Karenanya, Prita mengaku harus datang ke Suara Surabaya minimal satu jam sebelum bersiaran.
Jika waktunya mepet, ya terpaksa sambil bersiaran dirinya harus menyiapkan kaset. “Konsekwensinya ketika me-rewind ya kedengaran krek..krek…gitu di udara,” kenang dia.
Saat itu, di usia yang belum genap 10 tahun, peralatan di Suara Surabaya memang masih sangat manual. Bukan karena tak mampu membeli peralatan canggih, tapi kala itu memang zamannya manual. “SS sudah banyak iklannya tapi memang eranya masih kaset,” tuturnya.
Sistem administrasi di radio ini kala itu juga masih sangat manual. Bahkan, kenang Pritta, tiap tanggal 1, dia bersama belasan karyawan lainnya harus mengantre ketika mengambil gaji. “Ya mirip beli tiket, mengantre di ruang Ibu (Endang Soetojo/istri almarhum Soetojo Soekomihardjo),” kenangnya.
Saat itu, selain memberikan gaji secara manual, Bu Tojo juga selalu menyelipkan berbagai motivasi terhadap para pegawai di Radio Suara Surabaya. Karenanya, para pegawai biasanya memang harus mengantre satu persatu masuk ke dalam ruangan Bu Tojo.
Tapi kini, tepat di usia yang ke-30 tahun Suara Surabaya, Pritta mengaku turut bangga karena telah ikut menemani perkembangan Suara Surabaya.
Kecintaannya terhadap musik, menjadikan Pritta kini dipercaya untuk menukangi sebagai music director. Bahkan, dia rela tak lagi bersiaran demi menjaga kualitas bermusik yang mengiringi setiap news interaktif yang ada di Suara Surabaya.
Pritta memang tak lagi muda, namun semangat dan pengabdiannya di dunia radio khususnya di Suara Surabaya, terus menginspirasi. Pritta setidaknya telah menghiasi Suara Surabaya dengan rangkaian kata, kalimat, serta suara idealismenya.
Hari ini Pritta akan memasuki masa purna tugas. Fisiknya mungkin tidak lagi bisa ditemui kami para punggawa Suara Surabaya tiap hari di ruangannya mulai besok. Tapi karya, cerita manis, dan perjuangannya bersama Suara Surabaya tetap bersama kami. Selamat menikmati masa purna tugasmu, Mbak Prit….:) (edy/ipg)
Teks Foto:
– Rini Puspita Nindiyah, yang akrab disapa Pritta.
Foto: Dok. suarasurabaya.net