Sebanyak 1,8 juta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) harus diprioritaskan mendapat pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
“Mereka harus diprioritaskan dalam proses validasi selama enam bulan ke depan. Karena mereka selama ini tinggal di panti/rumah singgah atau terlantar seperti anak jalanan, lanjut usia, penyandang disabilitas dan gelandangan,” kata Sapto Waluyo Tenaga Ahli Menteri Sosial Bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintahan di Jakarta, Kamis (2/1/2014).
Sapto mengatakan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri telah menandatangani Permensos nomor 146 dan 147/HUK/2013 per 23 Desember 2013 tentang kriteria fakir miskin dan penetapan Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Berdasarkan UU SJSN nomor 40/2004, UU BPJS 24/2011, dan UU Penanganan Fakir Miskin (13/2011), Mensos yang tetapkan Penerima Bantuan Iuran dari golongan tidak mampu.
Jumlah yang terdaftar dalam PBI yaitu sebanyak 86,4 juta warga dengan anggaran Rp 19,3 triliun.
Implementasi BPJS juga mengundang protes, karena berdasarkan data PPLS tahun 2011 ada 96,7 juta warga miskin. Jika PBI hanya mengcover 86,4 juta, berarti ada 10,3 juta warga miskin yang belum terlayani.
Pengamat kebijakan sosial, Dr Bagus Aryo mengatakan akurasi data menjadi kunci keberhasilan BPJS.
“Warga yang belum tercakup PBI bisa dicover dana Jamkesda berdasarkan domisili masing-masing, lalu diintegrasikan bertahap ke dalam BPJS,” kata Bagus Aryo seperti dilansir Antara.
Kemensos, menurut dia bertanggung-jawab memastikan agar integrasi data terjadi dalam waktu secepatnya sehingga tak ada warga miskin yang tak dapat akses kesehatan di manapun mereka berada.
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia itu merespon positif pelaksanaan BPJS Kesehatan ang diberlakukan 1 Januari 2014, yang akan dilanjutkan BPJS Ketenagakerjaan pada 2015.
“Ini adalah salah satu ciri Negara Kesejahteraan yang diamanatkan UUD RI. Negara wajib memberi jaminan sosial. Indonesia sekarang telah memasuki era universal coverage dalam jaminan sosial dimana negara-negara maju umumnya sudah melakukannya pasca Perang Dunia II,” tambah Bagus.(ant/ipg)