Sabtu, 23 November 2024

Pakar Psikiatri: Hukuman Kebiri untuk Predator Anak Belum Setimpal

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan
Ilustrasi. Desain grafis: suarasurabaya.net

Hukuman kebiri kimia untuk pelaku pencabulan anak dinilai belum setimpal, menurut hasil Diskusi Publik bertema “Hukuman Kebiri untuk Predator Anak” di Surabaya, Rabu (28/8/2019).

Berbagai pakar dan tokoh dari berbagai bidang yang hadir dalam diskusi tersebut sepakat predator anak harus dihukum setinggi-tingginya mengingat dampak psikologis pada korbannya diyakini akan terus menghantui seumur hidup.

“Kalau saya lebih sepakat pelaku predator anak dihukum penjara seumur hidup,” ujar dr Nalini M Agung SpKj pakar psikiatri, seperti dilansir Antara.

Psikiater dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo Surabaya ini menjelaskan hukuman kebiri kimia hanya melumpuhkan sebagian fisik pelaku.

“Memang benar dengan dihukum kebiri kimia, dia tidak akan melakukan kejahatan pemerkosaan lagi. Tapi dikhawatirkan pelaku nantinya akan mencari lubang atau celah untuk melakukan kejahatan atau kekerasan yang lain. Bisa jadi bahkan melakukan pembunuhan,” katanya.

Hukuman kebiri kimia menjadi pembahasan pro dan kontra setelah Pengadilan Tinggi Surabaya belum lama lalu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, memvonis pelaku pencabulan Muhammad Aris dengan hukuman tambahan kebiri kimia, selain hukuman pokok 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan.

Terpidana berusia 21 tahun, warga Desa Sooko, Kabupaten Mojokerto, itu dinyatakan bersalah melakukan pencabulan terhadap Sembilan korban yang masih berusia anak-anak.

Persidangannya menggunakan Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Nalini menandaskan eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana Aris harus didampingi dokter ahli. “Persoalannya dokter punya kode etik yang melarang menghilangkan bagian tubuh manusia tanpa alasan medis. Aturan itu berlaku bagi profesi dokter secara internasional,” ujarnya.

Nadjib Hamid Wakil Ketua Pengurus Wilayah Muhamamdiyah Jawa Timur dalam diskusi publik yang digelar oleh wartawan dari Komunitas Media Pengadilan dan Kejaksaan (KOMPAK) Surabaya itu, juga menyatakan sepakat predator anak harus dihukum berat yang setimpal.

Dia menjelaskan kalau mengacu pada hukum Islam, hukuman yang setimpal adalah perbuatan pelaku dibalas dengan perlakuan yang sama. Contohnya, pelaku pembunuhan menurut hukum Islam dihukum dengan dibunuh pula.

“Kalau hukuman bagi pelaku zina menurut hukum Islam adalah dirajam. Sedangkan hukuman kebiri kimia hanya bersifat sementara terhadap pelaku. Jadi belum setimpal. Beda lagi kalau hukumannya adalah kebiri secara fisik,” ucapnya.

Asep Maryono Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyampaikan terima kasih kepada para tokoh dan pakar yang telah memberi masukan melalui diskusi ini.

“Sementara ini kami masih menunggu Peraturan Pemerintah dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang akan menjadi dasar penyusunan petunjuk teknis eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana Aris,” ujarnya. (ant/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs