Sejumlah pihak mulai mengkhawatirkan dampak kerusakan yang ditimbulkan aktivitas penambangan pasir mekanik di sepanjang Sungai Brantas, karena dianggap telah merusak kontur alami dan infrastruktur sungai yang memiliki panjang 600 kilometer, membentang melintasi 12 kabupaten/kota mulai Kabupaten Malang hingga Gresik, jawa Timur itu.
Hadi Witoyo Kepala Subdivisi Jasa Air dan Sumber Air (ASA) I/3 Tulungagung, Kamis (29/8/2019), mengungkapkan dasar Sungai Brantas saat ini terus mengalami penurunan drastis hingga kisaran sembilan (9) meter dibanding gradasi sebelumnya.
“Memang belum ada penelitian lebih lanjut mengenai ini. Tapi beberapa titik sampel yang kami pantau, penurunan terus berlanjut. Turun lagi setelah sebelumnya gradasi penurunan rata-rata tujuh meter,” kata Hadi Witoyo, saat memberi paparan dalam forum sosialisasi penertiban aktivitas penambangan pasir Sungai Brantas, di UPT BBWS Brantas, Tulungagung, Jawa Timur.
Penjelasan Hadi Witoyo itu menjadi prolog dimulainya sosialisasi yang menghadirkan Kasat Pol PP Jatim Budi Santosa, perwakilan BBWS Sungai Brantas di Tulungagung, kepolisian, tokoh masyarakat dan mahasiswa, penggiat lingkungan, awak media serta sejumlah pelaku penambangan pasir di Sungai Brantas.
Hadi menyebut dampak kerusakan secara lokal di titik area penambangan pasir memang tidak terlihat mencolok.
Namun penurunan dasar Sungai Brantas daerah itu, mulai dari wilayah perbatasan Kademangan, Blitar hingga Ngantru dan Karangrejo, Tulungagung secara keseluruhan sangat parah.
Akibatnya bisa dilihat dari ambles dan rusaknya struktur pemecah air di Bendung Serut, ambrolnya salah satu sisi plengseng Jembatan Ngantru, fondasi Jembatan Ngantru serta jembatan perlintasan KA yang menggantung, hingga penurunan level permukaan air tanah sebagai dampak ikutan penurunan dasar Sungai Brantas.
“Hal-hal seperti itu jika tidak ada kesadaran untuk diantisipasi sejak sekarang, nanti dampaknya akan semakin parah dan menjadi warisan bencana bagi anak cucu kita kelak,” kata dia dilansir Antara.
Atas dasar pertimbangan dan latar belakang itulah, pihak Perum Jasa Tirta, BBWS Brantas, Satpol Jatim, kepolisian dan pihak lain terkait merasa berkepentingan untuk melakukan persuasi pencegahan.
Sebagaimana diungkapkan panjang lebar oleh Budi Santosa Kasatpol PP Jatim, pihaknya saat ini berkepentingan untuk melakukan penanganan komprehensif terkait masalah penambangan pasir ilegal di seluruh wilayah Jatim.
Untuk daerah-daerah yang ada wilayah pertambangannya seperti di Blitar (beberapa daerah aliran sungai lahar Gunung Kelud), penambang rakyat didorong untuk mengajukan perizinan secara berkelompok.
Sedangkan khusus untuk penambang pasir di sepanjang Sungai Brantas, khususnya yang ada di wilayah Tulungagung, Budi Santosa menawarkan jalan tengah dengan menoleransi penambangan asal dilakukan secara manual. Bukan dengan alat bantu mekanis seperti mesin disel penyedot pasir serta alat berat.
“Kalau pakai alat berat tidak boleh. Karena secara aturan perundangan, Sungai Brantas pada dasarnya tidak boleh dilakukan penambangan. Tapi karena ini menyangkut masalah perut, berurusan dengan ekonomi rakyat, penambangan diberi kelonggaran asal dilakukan secara manual,” ujar Budi Santosa.
Selain itu, Budi juga mengajak semua pemangku kepentingan terkait, terutama di tingkat Pemkab Tulungagung untuk ikut serta mencari solusi guna menyejahterakan masyarakat sekitar sungai agar memiliki sumber perekonomian baru/alternatif.
Upaya penguatan ekonomi rakyat itu penting agar warga, khususnya para penambang pasir dan buruh tambang pasir tidak lagi bergantung dengan kegiatan penambangan pasir di Sungai Brantas yang bisa merusak lingkungan.(ant/tin/ipg)