Koalisi Pemantauan Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I) Jatim menggandeng Arek Institut mengampanyekan penggunaan kantong plastik ramah lingkungan.
Puput TD Putra Ketua Umum KPPL-I mengatakan, melarang pemakaian kantong plastik tanpa solusi tidak akan mengubah pola hidup masyarakat yang terbiasa pakai kantong plastik.
“Kantong plastik ini sangat multifungsi. Sebagai pembungkus barang atau produk, juga sebagai pembungkus sampah rumah tangga untuk dibuang ke TPA,” ujarnya di Surabaya, Senin (2/9/2019).
Sayangnya, sebagian besar sampah yang dibuang ke TPA adalah jenis sampah yang berukuran kecil, tipis, kotor, dan mustahil didaur ulang secara otomatis seperti plastik botol mineral (PET).
Berdasarkan hasil riset yang dinukil KPPL-I, sekitar 15-20 persen sampah yang sampai di TPA adalah sampah plastik yang susah hancur. Butuh waktu lebih dari 500 tahun untuk terurai.
Karena itulah KPPL-I mengajak semua pihak beralih dari kantong plastik konvensional yang susah terurai ke kantong plastik ramah lingkungan dengan teknologi bioplastik atau oxo-biodegradable.
Kantong plastik yang diolah dengan teknologi oxo-biodegradable, misalnya, diproduksi dengan menambahkan zat aditif tertentu agar plastik bisa terurai dalam waktu 2-5 tahun.
Peran pemerintah, kata Puput, perlu didorong. Pemerintah daerah perlu membuat kebijakan dalam mengatur dan mengendalikan penggunaan plastik di pasaran.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memiliki instrumen pendukung penggunaan kantong plastik ramah lingkungan ini berupa standar nasional Indonesia (SNI).
“Ada SNI Ekolabel Kantong Belanja Ramah Lingkungan yang mudah terurai (SNI 7188.7) maupun yang bisa didaur ulang (SNI 7188.11). Instrumen ini bisa dimanfaatkan,” katanya.
Baru ada tiga produk kantong belanja plastik dari dua perusahaan yang sudah dapat ekolabel kantong belanja ramah lingkungan. Kantong plastik merek Oxium dan Ecoplas dari PT Tirta Marta, serta enviplast dari PT Inter Aneka Lestari Kimia.
“Kami mendukung semua produk kantong plastik dengan teknologi ramah lingkungan supaya bisa digunakan di pasaran. Tapi kendalanya memang harganya lebih mahal dari konvensional,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah berperan pada kendala harga itu. Apabila sudah ada aturan yang tegas tentang prioritas penggunaan kantong plastik ramah lingkungan, penerapan kantong plastik bisa dilakukan.
“Kami sebenarnya sudah pernah berbincang dengan para pengusaha. Mereka sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, asalkan kebijakan itu jalan,” ujar Ony Mahardika Ketua KPPL-I Jawa Timur.
Ony mengatakan, berdasarkan survei yang pernah dilakukan di sejumlah pasar tradisional di Malang, Jawa Timur, penggunaan kantong plastik ramah lingkungan baru 15 persen.
“Perlu didorong dengan adanya kebijakan. Sementara di Jawa Timur belum ada satupun pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan penggunaan sampah plastik ramah lingkungan,” ujarnya.
Menggandeng Arek Institut, KPPL-I membuat gerakan sosialisasi dan pemantauan penggunaan kantong plastik ramah lingkungan di Jawa Timur. Mereka merekrut para pemerhati lingkungan sebagai detektif pemantau.
Setiawan Ketua Komunitas Arek Institut mengatakan, para Detektif Pemantau Sampah Plastik (Depamali) itu akan bertugas untuk mengawasi pergerakan pasar.
“Dari produsen sampai konsumen. Detektif ini bisa siapa saja. Ibu-ibu, anak muda di kampus, siapapun yang peduli kepada lingkungan. Selain memantau mereka juga akan menyosialisasikan pentingnya kantong plastik ramah lingkungan,” katanya.(den/iss/ipg)