Sabtu, 23 November 2024

Tiga Poin Pelemahan KPK di Revisi UU KPK Menurut Akademisi Unair

Laporan oleh Agung Hari Baskoro
Bagikan
Herlambang P Wiratraman Direktur Human Right Law Studies (HRLS) FH Universitas Airlangga saat aksi penolakan revisi UU KPK di kampus FH Unair pada Selasa (10/9/2019). Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Herlambang P Wiratraman Direktur Human Right Law Studies (HRLS) FH Unair mengatakan, setidaknya ada tiga poin dalam revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan lembaga anti rasuah tersebut.

Pertama, dalam revisi UU KPK, lembaga tersebut akan diawasi oleh sebuah badan yang disebut dewan pengawas KPK. Menurutnya, hal ini tidak masuk akal dan dapat menghambat kinerja KPK.

“Menurut putusan MK, Yang mengawasi KPK itu DPR. Jadi tidak perlu lagi ada pengawas yang dihadirkan untuk mengontrol KPK. Sekali lagi, menurut putusan MK adalah DPR. Upaya pelemahan sudah terjadi di upaya mendesakkan dewan pengawas di KPK. Menruut kami, dari kajian kami, KPK itu lembaga yang dalam tata negara sebagai watchdog atau pengawas,” ujar Herlambang ketika ditemui disela aksi penolakan revisi UU KPK di kampus FH Unair pada Selasa (10/9/2019).

“DPR bilang, Polri ada komisi kepolisian, kejaksaan ada komisi kejaksaan, kenapa KPK tidak? Saya rasa logika itu keliru. Karena KPK itu sudah watchdog, masak watchdog diawasi watchdog. Ini terlalu berlebihan dan tidak masuk akal,” lanjutnya.

Menurut Herlambang, KPK saat ini sudah menunjukkan kerja-kerja yang sesuai hukum dan cukup progresif. Ia menegaskan, jika ada kesalahan yang dilakukan lembaga itu, DPR cukup melakukan evaluasi.

Selain perkara dewan pengawas, ia juga menyoroti kewenangan penyadapan yang dibatasi. Dalam revisi UU KPK, lembaga anti rasuah ini harus berkoordinasi dan melakukan penyadapan atas sepengetahuan dewan pengawas.

“Fakultas Hukum (Unair, red) itu kerjasama dengan KPK. Kita tahu penyadapan itu tidak semudah seperti dibayangkan, (tidak, red) liar gitu.
Penyadapan melalui evaluasi di internal mereka. Jadi gak segampang itu. Ada evaluasinya,” jelasnya.

Ia mengatakan, jika merasa ada kewenangan penyadapam yang menyalahi aturan, DPR dalam aturan sekarang bisa memanggil KPK setiap saat. Komunikasi antara DPR dan KPK lebih dibutuhkan daripada membuat aturan baru yang membatasi kewenangan lembaga ini.

Poin ketiga yang juga bermasalah adalah pada kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK. Dalam revisi UU baru, KPK harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Jaksa Agung agar bisa melakukan penuntutan.

“Penuntutan yang harus koordinasi dengan Jaksa Agung akan jadi masalah. Secara kelembagaan, KPK selama ini dalam mengerjakan penegakan hukumnya sudah optimum. Memang ada catatan, saya rasa biasa terjadi dilembaga manapun di negeri ini. Langkah upaya memperkuat KPK, perlu dan masih dibutuhkan di negeri ini,” tegasnya.

Di sisi lain, Amira Paripurna Perwakilan Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana FH Unair menegaskan, korupsi merupakan jenis kejahatan yang korbannya masal, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Dalam kajian victimologi, ini disebut sebagai political victimologi.

“Jadi kalau politicial victimologi, penegak hukum, KPK, Jaksa, dia mewakili secara langsung kepentingan masyarakat yang dirugikan. Sehingga dalam hal ini, rasa keadilan kita terusik. Kita sudah menggantungkan itu kepada KPK. Kalau yang jadi kewenangan KPK terenggut, kita tentu jadi terusik. Kita harus doing something. Dari situlah keterwakilan kita,” pungkasnya. (bas)

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs