Umur dan keterbatasan fasilitas bukan kendala meraih sarjana. Maria Lidwina Endang Suwarni, wisudawan tertua S1 Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) membuktikan itu.
Betapa tidak, Maria yang mengaku tidak mahir berkendara selalu diantar anak sulungnya ke kampus. Jika anaknya berhalangan, tidak ada cara lain bagi Maria selain naik dan turun angkot minimal dua kali untuk sampai ke kampus.
“Kadang-kadang memang ada teman yang mengajak untuk bersama-sama menuju kampus. Tapi itu tidak setiap hari juga kan?” Kata Maria yang lahir di Semarang pada 14 Maret 1950 lalu itu.
Maria pun bersyukur anak sulungnya itu pindah kerja ke luar kota saat dirinya akan diwisuda. “Saya tidak bisa bayangkan seandainya saya belum selesai kuliah, maka naik turun angkot akan lebih sering lagi padahal sudah tidak muda lagi,” kata Maria, ibu 3 anak dan 5 cucu ini, Rabu (11/9/2019) usai wisuda.
Lalu apa yang mendorong Maria untuk kuliah? “Kalo dari usia memang tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Lah wong insentif dari Pemkot untuk guru-guru PAUD untuk mereka yang usia muda, itu pun ada yang tidak dapat. Tapi saya ingin kasih contoh, tidak ada halangan untuk bisa mencapai gelar sarjana,” tutur Maria.
Bagi Maria yang mengaku menerima insentif setiap bulan hanya Rp50 ribu dari pengelola PAUD di daerah Manukan Kulon, Tandes, Surabaya ini, apa yang dicapainya merupakan kebanggaan tersendiri. Tapi, katanya, dirinya tetap harus rendah hati dan enggak boleh sombong.
Maria berharap dapat menjadi contoh untuk cucunya yang kini sudah lima. “Cucu pertama saya juga akan diwisuda November mendatang. Usia dan fasilitas bukan halangan buat saya, apalagi anak-anak mendorong agar saya bisa menyelesaikan kuliah,” ujar anggota tim Penggerak PKK Kelurahan Manukan.
Bukti dari sang anak mendorong kuliah adalah, uang kuliah yang dibayarkan merupakan bantuan dari ketiga anaknya.
“Beruntung SPP yang kami bayar memperoleh subsidi dari Unusa terkait program Bunda PAUD, jadi kami tidak terlalu berat dalam membayar,” kata Maria lagi.
Mengharap bantuan dari PAUD dimana Maria beraktivitas, rasanya juga tidak mungkin. “Saya bersama teman-teman di PAUD lebih menekankan pada kegiatan sosial, membantu sesama. Saya tetap berkomitmen untuk memajukan dan tetap setia di PAUD sebagai ladang amalan di dunia,” tegas Maria yang juga aktif pada kegiatan sosial di gereja.
Apa kesannya kuliah di tengah mahasiswa yang dominan muslim? “Bagi saya tidak masalah, saya terbiasa berada dalam lingkungan yang berbeda-beda. Saya harus dapat menyesuaikan penampilan kebanyakan warga kampus,” pungkas Maria yang sebelum mengajar di PAUD bekerja sebagai karyawan ekspedisi bersama almarhum suaminya.(tok/den)