Sabtu, 23 November 2024

Setahun Pascagempa Sulteng, Ratusan KK Masih Tinggal di Tenda Tak Layak Huni

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Seorang penyintas bencana duduk di depan tendanya di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/9/2019). Foto: Antara

Ratusan kepala keluarga (KK) masih tinggal di tenda-tenda pengungsian dengan kondisi sangat memprihatinkan. Meski bencana gempa bumi 7,4 SR, tsunami dan likuefaksi di Sulteng sudah satu tahun yang lalu, tepatnya pada 28 September 2018, namun masih banyak pengungsi yang tidak mendapatkan huntara.

Nur Safriti dari Yayasan Sikola Mombine membenarkan hal tersebut. Dilansir Antara, Selasa (8/10/2019), ia membenarkan jika berdasarkan hasil monitoring di titik-titik penampungan, menunjukkan masih banyak korban yang terpaksa bertahan tinggal di tenda-tenda pengungsi karena tidak mendapatkan hunian sementara (huntara).

“Apalagi, mendapatkan hunian tetap (huntap),” kata dia.
​​​
Ratusan KK korban gempa, tsunami dan likuefaksi yang masih tinggal di lokasi pengungsian itu tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.

Menurut Data International Organization for Migration (IOM), menjelang setahun bencana Sulteng, masih terdapat sekitar 16.654 keluarga atau 66.264 jiwa penyintas yang tinggal di tenda-tenda pengungsian darurat.

Mereka yang berada di tenda-tenda pengungsi bukan hanya orang dewasa, tetapi juga bayi dan anak-anak dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, sebab kekurangan makanan dan kebutuhan lainnya.

Bahkan tempat tinggal mereka itu sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal karena tendanya sudah bocor sehingga saat hujan tak jarang banjir masuk ke tenda dan mengusik kenyamanan para korban.

Nur menambahkan, rata-rata warga yang tinggal bertahan di tenda-tenda pengungsi yang terbuat dari terpal. Sejak mulai huntara dibagikan, mereka tidak mendapatkan, sebab namanya tidak ada dalam daftar penerima huntara.

“Karena tidak mendapatkan huntara, makanya mereka memilih untuk tinggal di tenda pengungsi, meski tidak layak dihuni,” ujarnya.

Selain tinggal di tenda darurat, para penyintas bencana alam di tiga wilayah Palu, Sigi dan Donggala hingga kini belum juga mendapatkan jaminan hidup (jadup) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pemerintah.

“Kalau pemerintah tidak punya uang, lebih baik berterus terang saja kepada kami, bukan hanya janji-janji saja sebagai surga telinga,” kata salah seorang penyintas yang enggan disebut identitasnya dan masih tinggal di tenda pengungsi di Kecamatan Palu Barat.

Hal senada juga disampaikan Ny Rosa, seorang warga korban gempa di Kelurahan Wombo Kalongo Kecamatan Taweli.

Ia juga mengaku masih tinggal di tenda pengungsi bersama belasan KK lainnya karena rumahnya hancur dan belum juga mendapatkan bantuan dana stimulan untuk pembangunan/perbaikan rumah rusak akibat gempa.
​​
Dia juga mengaku tidak mendapatkan bantuan huntara dan jadup.

Bencana alam paling dahsyat di Provinsi Sulteng tersebut menelan korban jiwa mencapai ribuan orang dan menghancurkan banyak rumah penduduk, sarana/fasilitas infrastruktur jalan, jembatan, listrik, telekomunikasi dan jaringan irigasi.

Bahkan di Kabupaten Sigi yang merupakan daerah terdampak bencana alam cukup parah di Sulteng itu, ribuan petani masih merana karena tidak bisa menggarap lahan pertanian. Sebab jaringan irigasi rusak total dan sedang dalam upaya perbaikan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Ada sekitar 8.000 hektare lahan pertanian pangan dan hortikultura di empat kecamatan Gumbasa, Tanambulva, Dolo dan Sigibiromaru terlantar karena irigasi rusak diterjang gempa dan likuefaksi.(ant/tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs