Rabu, 27 November 2024
31-1-2007

Model Regulasi Untuk Mengatasi Dampak Rokok Produk Beresiko

Laporan oleh Noer Soetantini
Bagikan

Negara mengalami dua bentuk kerugian yakni cukai rokok ilegal dan rokok jauh lebih berbahaya dari makanan. Ini disampaikan KRESNAYANA YAHYA Pakar Statistik ITS dalam Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (31/01), menyikapi model regulasi untuk mengatasi dampak rokok produk beresiko.

Menurut KRESNAYANA, ada studi yang menunjukkan bahwa pendapatan negara dari cukai rokok tidak seimbang dengan ongkos dan biaya lanjutan pemeliharaan orang sakit karena kanker yang ditimbulkan. Tahun 2007 ini, cukai rokok diperkirakan mencapai Rp 75 trilyun dan mungkin 1/8-nya atau 12,5%-15% tidak bayar cukai. Besarnya pajak dari rokok ilegal sekitar Rp 90 trilyun.
Ada sebabnya kenapa banyak perusahaan rokok ilegal ? Kata KRESNAYANA, pemerintah menaikkan tarif cukai sehingga banyak perusahaan rokok ‘besar’ mendirikan perusahaan rokok-rokok kecil yang tidak berijin atau tidak dikenali. Ini artinya, rokok-rokok yang harga satuannya dibawah Rp 4000, termasuk rokok yang dibuat untuk mencegah persaingan antar rokok kelas bawah.

Untuk menekan rokok ilegal tidak mudah kalau regulasi hanya dibuat tanpa ada unsur yang menyebabkan masyarakat ikut mencegah. Para perokok muda setiap tahun mencapai 10 juta dan karena gengsi atau tertarik gaya iklan dan bintangnya. Tidak ada pola aktualisasi anak muda yang diwadahi selain dengan cara-cara seperti itu.

Kalau ingin rokok legal dan masuk kategori bayar pajak dengan cara tertentu, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai dan perlu pengawasan ekstra ketat. Regulasi harus dilakukan untuk melindungi anak-anak di bawah 17 tahun, ibu hamil dari bahaya merokok. Ini bagian tanggungjawab negara bersama masyarakat. Panduan hidup sehat menjadi kekuatan negara mendapat semacam kehormatan dari rakyatnya mendapatkan semacam layanan informasi.

Regulasi yang tepat, misalnya, dari sisi tempat merokok yang harus dibatasi, karena perokok masih juga dirugikan. Perusahaan rokok membangun tempat khusus merokok yang diregulasi dengan filtering proses yang menjamin orang yang merokok sendiri tidak mendapat dampak dari asap rokok.

Mengenai efektivitas terhadap regulasi, KRESNAYANA mengatakan, regulasi tidak hanya larangan merokok di tempat umum tapi juga menyediakan tempat merokok yang sekiranya membutuhkan. Secara umum semua pengendara mobil apalagi ber-AC dilarang merokok. Pembeli rokok anak-anak, ya harus ditangkap. Regulasi harus komprehensif dan memberi ruang bagi perokok. Silahkan pabrik rokok mengatur bagian dari layanan kepada konsumen dan bukan tanggungjawab Pemkot.

Dengan begitu, peredaran rokok secara bertahap akan makin menyusut. Diharapkan masyarakat makin sadar kesehatan dan yang mau menanggung resiko merokok silahkan. Kita juga menuntut peningkatkan kualitas rokok dengan mengurangi kadar tar sampai batas yang layak bagi manusia.
“Sepanjang ini yang diutamakan siapa yang membayar cukai ya kualitas tidak perlu dilihat. Kita harus win-win solution. Kadar tar seharusnya sudah turun separuh dari semestinya. Setiap 2 tahun harus direview sampai batas kadar tar yang layak bagi manusia,”ujarnya.

PURNOMO pendengar radio yang bergabung dalam Wawasan mengatakan saat kecil di Wonogiri, biasanya yang melarang merokok dari lingkungan. Di lingkungan agamis, merokok dikategorikan barang mubazir dan harus dihindari. Mungkin ini satu diantara cara mempengaruhi imej di masyarakat.

Kalau ada regulasi yang formal, kata PURNOMO, hanya formalitas saja. Tetapi jika berasal dari adat istiadat atau religi akan berpengaruh besar pada masyarakat. Untuk regulasi, bisa dengan tempat-tempat mana yang boleh dan tidak boleh merokok. Orang akan berpikir jika akan merokok, seperti larangan merokok di gudang-gudang dan sebagainya.

HENDRA PRASTYA pendengar menilai memang perlu ada regulasi yakni pembagian wilayah dan pengaturan terhadap peredaran rokok. Rokok hanya bisa dibeli di tempat-tempat tertentu dan membeli rokok hanya orang dewasa seperti di supermarket. Pembatasan usia merokok. Dengan adanya regulasi, yang merokok harus beli sendiri dan tidak bisa menyuruh anaknya membeli rokok.

“Iklan di media TV harus dihilangkan karena pengaruhnya signifikan pada anak-anak. Misalnya menunjukkan selera pemberani, dan ini berpengaruh pada perilaku anak-anak. Perlu regulasi ada pembatasan,”ungkapnya.

A.JABIR Ketua Komisi D DPRD Surabaya menjelaskan regulasi tentang rokok berpotensi tarik ulur. Untuk itu, perlu ada persamaan persepsi dulu bahwa regulasi tentang rokok tidak lagi jadi perdebatan.

Ada tiga persoalan dalam regulasi rokok terkait hajat hidup orang banyak, yakni distribusi atau pemasaran rokok karena ini akan berpengaruh pada perilaku orang termasuk pembatasan usia pembeli dan yang merokok.
Kedua, menyangkut produksinya dan tidak cukup dengan Perda tapi dengan UU khusus.

Ketiga, pemakaiannya dimana ada ketentuan yang mengatur dan mengkompromikan antara yang merokok dan yang tidak merokok. Perda yang ada di Surabaya ini agak separuh hati, tidak serius membahas pada aspek merokok. Kalau serius harus ada Perda sendiri, tidak dijadikan satu dengan Perda Pencemaran Udara.

GITO pendengar Suara Surabaya mengatakan dasar persoalan merokok adalah ewuh pakewuh. Mau dilarang pajaknya repot, padahal merokok membuat pencemaran udara. Narkoba tidak menimbulkan pencemaran tapi dilarang langsung dan mungkin karena tidak ada unsur pajak.

Kalau memang terkait dengan kesehatan, sebaiknya dilarang langsung seperti halnya narkoba. “Ewuh pakewuhnya bisa nggak dihilangkan. Kalau bisa dihilangkan sudah tidak ada masalah,”tukasnya.

Mengenai regulasi rokok, menurut SUBIANTO pendengar Suara Surabaya, harus terpadu mulai peredaran, pemakai sampai tempat merokok. Di Korea Utara ada aturan syarat masuk ke Perguruan Tinggi Negeri harus tidak merokok. Mungkin ini bisa diterapkan serta pelarangan merokok, anytime dan anytime.

Di Korea Utara ada pasukan puntung rokok, pemburu puntung rokok. Jika ada orang ketahuan membuang puntung rokok dalam keadaan mati didenda Rp 418 ribu. Kalau masih menyala didenda Rp 1,39 juta.

Sebuah pengaturan yang komprehensif, kata SUBIANTO, sudah saatnya diperlukan. Pemerintah masih plin-plan bahkan belum meratifikasi frame work on convention tobacco control yang sudah ditandatangani hampir 200 negara. Ini disebabkan pemerintah masih membutuhkan cukai untuk APBN. Tahun kemarin sekitar Rp 36 trilyun.

Dr.ESTY MARTIANA Kepala Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya melalui telepon menyebutkan draft Perda Pencemaran Udara yang mengatur diantaranya Kawasan Tanpa Rokok Pemkot Surabaya sudah diserahkan ke Bagian Hukum. Inti Perda mengatur. Masing-masing penanggungjawab di tempat yang ditetapkan kawasan tanpa rokok dan masing-masing punya kewajiban mewujudkan kawasan tanpa rokok. Sanksi tidak hanya ditujukan pada perokok yang melanggar kawasan tanpa rokok tapi juga penanggungjawab pengelola gedung.

Tentang pengawasan kawasan tanpa rokok, diantaranya, lewat laporan publik. Diusulkan pelanggar kawasantanpa rokok dan pimpinan pengelola gedung didenda maksimal Rp 50 juta. Administrasinya akan diatur Kepala Daerah.

Ny.LISA bergabung di Wawasan berbagai pengalaman. Saat Kepala Dinas LH Pemkot Surabaya menyatakan bahwa dia menyerahkan pada masyarakat tentang perlu atau tidak melarang merokok di tempat publik menunjukkan aparat belum siap implementasi dari larangan merokok.

Regulasi komperhensif dan penegakan hukumnya, menurut LISA, belum siap diterapkan seperti halnya pelarangan di Singapura dengan sanksinya. Alasannya ya ewuh pakewuh.

“Saya pesimis karena pemerintah belum siap dengan regulasi yang komprehensif. Kalau tidak siap lebih baik fokus ke yang lain saja seperti bagaimana mengurangi asap knalpot dan sebagainya,”ujarnya.

Kalau ada rencana inovasi yang akan dibuat Sampoerna, LISA berharap bisa terwujud dan laris penjualan produk tersebut sampai mengalahkan produk rokok. Perusahaan rokok yang lainnya, kiranya juga perlu membuat inovasi baru.

ISMAIL SYARIF Ketua SPSI Kota Surabaya di akhir Wawasan berbagi pendapat bahwa pekerja yang ada dan selalu terserap banyak serta tidak menyalahi aturan pengupahan adalah karyawan dari sektor rokok. Di Gudang Garam, jumlah penyerapan tenaga kerja cukup banyak termasuk Sampoerna.

Di Surabaya saja, sebut SYARIF, ada skeitar 35 ribu sampai 40 ribu karyawan dari Wismilak, Sampoerna. “Jangan melihat sisi positif tapi juga negatifnya. Sangat setuju dengan regulasi. Dan masalah cukai juga cukup besar yang masuk ke negara. Untuk pengaturan tempat, warung-warung rokok banyak juga. Apakah ini harus diatur karena mereka akan kehilangan pekerjaan dan apa gunanya dengan UU 45 pasal 27 sendiri ? Kalau terkait dengan industri rokok, aturannya harus jelas karena jika tidak akan menimbulkan masalah baru,”pungkasnya.

Dialog interaktif program Wawasan Suara Surabaya ini, selengkapnya bisa Anda klik dan dengarkan dalam radio on demand di bawah ini.

Bagikan
Berita Terkait

Surabaya
Rabu, 27 November 2024
31o
Kurs