Sabtu, 23 November 2024

Pernak-pernik di Musholla

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan

Oleh: Ayub Syafii

Orang-orang itu memang baru bertobat dan sedang tekun belajar sholat. Mereka mulai mengerti bagaimana seharusnya mengerjakan sholat yang benar. Satu diantaranya baru hari itu ikut berjamaah dengan gurunya. Namanya Paul.

Ketika imam garuk-garuk sesudah bangun I’tidal dari rukuk pada rakaat kedua karena digigit nyamuk, Paul pun ikut garuk-garuk kepala. Disangkanya mengikuti gerakan imam termasuk juga kalau imam garuk-garuk kepada ia harus turut melakukan yang sama.

Tentu saja perbuatan ini keliru. Maka makmum di sebelahnya mengingatkan,”Hai Paul. Tidak usah ikut garuk-garuk kepala.”
Makmum lainnya lalu menegur,”Kamu sembahyang kok ngomong. Batal.”
Makmum ketiga juga menyalahkan,”Kamu pun sudah batal.”

Karena yang selebihnya juga saling mengingatkan, akhirnya semua makmum menjadi batal sholatnya gara-gara ulah Paul. Setelah selesai sholat, tentunya hanya guru mereka saja yang tidak batal, guru tersebut memberitahukan agar sikap seperti itu jangan diulangi lagi.

Sholat harus dilaksanakan secara khusyuk. Sepatah kata pun yang tidak ada hubungannya dengan bacaan sholat tidak boleh dikeluarkan.

Hari berikutnya, salah seorang diantara mereka terlambat datang. Sholat Isya’ sudah selesai. Maka ia pun berniat sholat sendirian, ketika ia sudah berdiri, tiba-tiba masuk dua orang ke musholla dan bermaksud hendak makmum di belakangnya.
Orang itu yang bernama Dolah keberatan.
“Maaf. Saya tidak biasa jadi imam.”
“Ah, tidak apa-apa,” jawab kedua orang calon makmum itu.”
“Saudara saja yang di depan. Saya makmum,” sergah Dolah gemetar.
“Maaf. Kami ini musafir, kurang afdol kalau jadi imam. Saudara kan pemukim di sini. Saudaralah yang harus jadi imam.”

Sesudah berdebat tak habis-habis, akhirnya Dolah mengalah untuk jadi imam sekali itu. Tapi sebelum takbiratul ihram ia berkata:
“Baiklah. Saya jadi imam, namun dengan syarat, makmumnya hanya saudara berdua saja. Tidak boleh lebih.”
Kedua pendatang itu saling berpandangan lalu menjawab,”Ya, boleh. Nyatanya kan disini hanya kami berdua saja.”

Maka Dolah pun mulai membaca al-Fatihah. Bacaannya sudah lumayan. Karena ia rajin belajar. Sebelum selesai al-Fatihahnya, datang lagi tiga orang makmum berikutnya. Mereka bergabung bersama kedua makmum yang terdahulu. Hingga pada waktu membaca Amin setelah Dolah melafalkan,”waladlalin” kedengaran betul jumlah makmum yang lebih dari dua orang.

Serta merta Dolah menoleh dan mengurungkan sholatnya, “Saya kan tadi sudah memberi syarat, makmumnya hanya dua orang saja. Kenapa sekarang ada lima? Saya tidak mau jadi imam lagi.”

Tinggalah kelima orang itu bengong, bingung apa yang harus dikerjakan. Mau dibatalkan hukumnya tidak boleh, mau diteruskan imamnya mogok.
Dolah, sosok yang ikhlas dan polos. Kalau pun salah, bukan karena sok tahunya, melainkan lantaran memang belum tahu hukumnya. Berbeda dengan haji Dulgapur. Yang dikampungnya memperoleh julukan haji “hambali” sebab di Tanah Suci Makkah kerjanya hanya keliling pasar-pasar memborong hambal untuk oleh-oleh.

Pada suatu saat pak Lebai yang biasa men-sholati jenazah sedang sakit. Di masjid tidak ada orang yang lebih pandai. Untuk itu haji Dulgapur tanpa diminta maju ke depan hendak mengimami sholat jenazah.

Orang-orang pun mengira haji Dulgapur, karena sudah bertitel haji, pasti sudah tahu bagaimana caranya sholat jenazah. Seperti diketahui, sholat jenazah berbeda dengan sholat biasa. Tidak ada rukuk dan sujud. Yang dikerjakan hanya takbir empat kali sambil tetap berdiri lalu salam.

Anehnya, haji Dulgapur melaksanakan sholat jenazah lengkap dengan rukuk dan sujud serta tasyahud awal dan tasyahud akhir, sama seperti sholat Dzuhur.

Salah seorang makmum memberanikan diri untuk menegur, “Pak Haji. Kok sholat jenazah pakai rukuk dan sujud segala?”
Pak Haji terkejut lantas balik bertanya, “Apa biasanya tidak begitu?”
“Tidak,” jawab para makmum serempak.
“Hanya takbir empat kali sambil tetap berdiri lalu diakhiri dengan salam ke kanan dan ke kiri.”

Dasar orang licik. Dengan angkuh Haji Dulgapur menjelaskan, “Oh begini masalahnya. Biasanya mayat-mayat itu dosanya kecil saja. Sedangkan yang kita sholati sekarang ini dosanya sangat besar, jadi harus pakai rukuk dan sujud.”

Orang-orang pun mengangguk-angguk lantaran kebetulan mereka sama bodohnya dengan Pak Haji.[abufaim].(ipg)

Bagikan
Berita Terkait

Keberkahan Rumah Tangga Nabi SAW

Keteguhan Hati Nabi SAW

Berpuasa di Negeri Sunyi


Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs