Sabtu, 23 November 2024

Cerita Tentang Pengamen

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan

Oleh: Mishad Irawan

Cilikanku rambutku dicukur gundul
Dolananku motor cilik soko lempung….

Dua kalimat itu dan bait-bait seterusnya yang muncul dari bibir manis pengamen cilik di bis yang mengantarkanku dari Kota Surabaya ke Kota reog Ponorogo.

Lagu itu dilantunkan bocah berumur 7 tahunan dengan nada ala kadarnya. Iringan musiknya pun sangat sederhana, yaitu dengan memukul-mukulkan beberapa lempengan tutup botol yang ditancapkan ke kawat besi sebesar sapu lidi ke tangan.

Ketika pengamen cilik itu berunjuk gigi di bis yang penuh sesak penumpang, maka saya yakin ketika itu muncul bermacam respon dari para penumpang. Sebagian penumpang mungkin jengkel karena sudah pengap dengan keringat dan bising dengan suara mesin bis, lalu mereka harus terganggu lagi dengan aksi sang pengamen.

Beberapa penumpang yang lain mungkin merasa terhibur dengan alunan musik dan suara mereka. Ada juga beberapa penumpang yang merasa ibah dengan nasib sang anak, tetapi dibenak penumpang lain justru muncul anggapan “Kecil-kecil kok sudah belajar minta-minta ya!”.

Ada penumpang yang bersuka hati merelakan uang recehnya ketika sang pengamen berkeliling memohon bunga-bunga sosial sang penumpang. Tapi mungkin ada penumpang yang enggan merogoh koceknya sembari menunjukkan isyarat dengan tangan tanda tidak memberi. Bahkan ada penumpang yang menghindari bungkus permen pengamen yang dikelilingkan dengan berpura-pura tidur. Begitulah nasib sang pengamen, ketika mereka mengais rupiah di bis.

Penilaian dan pengamatan tersendiri tentang profesi sang pengamen memang pernah menjadi masalah bagi saya. Walaupun tidak pasti, ketika ada pengamen di bis yang saya tumpangi, maka kerapkali saya merelakan uang cepek saya untuk mereka. Mungkin sudah terpatri prinsip ada cepek harus ngasih mereka. Tapi hal itu menjadi berubah 180 derajat, ketika pandangan buruk tertancap di hati berkenaan dengan profesi pengamen.
Peristiwa itu mulai tertanam, tiga tahun lalu ketika saya dalam perjalanan bis dari Surabaya ke Malang.

Saat itu yang kebetulan bulan suci Ramadhan, tampak seorang pengamen muda yang tampangnya cukup keren ketimbang pengamen biasanya masuk ke bis yang saya tumpangi. Dengan santai sebelum menyanyi dia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Bisa ditebak asap rokok pun mengepul di bis yang dipenuhi penumpang yang insya Alloh sebagian besar berpuasa. Seperti terkesan tidak risih, sang pengamen kemudian membuang putung rokoknya yang masih tinggal separoh, setelah itu dia mulai bernyanyi.

Maka kesan dan pandangan saya terhadap pengamen mulai saat itu pun mulai miring. Dibenakku terbesit pandangan ternyata semua pengamen begitu. Pandangan negatif saya pada pengamen makin bertambah karena informasi dari teman saya yang tahu bahwa uang hasil jerih payah para pengamen itu hanya digunakan untuk judi, minum-minuman keras, dan perbuatan maksiat lain.

Berawal dari kejadian itu, maka uang cepekku pun ogah saya berikan pada pengamen lagi. Mulai saat itu aku menjadi alergi terhadap citra sang pengamen.

Penilaianku dan pendirianku yang miring tentang profesi pengamen cukup lama hinggap di otakku, sampai-sampai kalau ada pengamen saya ingat peristiwa itu. Waktu pun kian berlalu, hingga suatu saat saya berpergian dengan seorang ustadz yang yang cukup dekat dengan saya, beliau adalah Al Habib Husein Al Hadad.

Perilaku Habib yang tegas tapi humoris itu tidak sengaja saya amati. Termasuk ketika sang Habib ini harus menghentikan mobilnya di lampu merah. Ketika itu sang Habib bertemu dengan pengamen, peminta-minta, penjual koran di lampu merah. Beliau menyiapkan sekaligus memberi uang pecahan pada mereka. Sambil tersenyum khas, sang Habib berucap “Tak ke’ih batine ae yo rek” (tak kasih untung nya saja yo rek).

Kejadian itu terjadi beberapa kali di depan mataku ketika saya dan teman-teman berpergian bersama dengan sang Habib pada acara-acara tertentu, terutama ketika acara thoriqotul kubroh rutin di rumah Al Habib Prof. Taher Al Habsi atau di tempat lain.

Saya yang saat itu masih memandang miring profesi pengamen akhirnya bertanya pada sang Habib tentang sikap beliau terhadap seorang pengamen. Ketika bertanya saya menyampaikan argumen, penilaian dan pengalaman-pengalaman kurang baik saya tentang perilaku pengamen. Maka beliau dengan cukup ringan menjawab “Tahukah kamu apakah setiap pengamen seperti pengamen yang kamu lihat? Siapa tahu yang mengamen itu adalah Nabi Khidir yang menguji kita.”

Habib sekali lagi menyambung nasehatnya “Jangan kau menolak permintaan seseorang jikalau kau sanggup memberinya, masalah kamu curiga dengan digunakan untuk apa pemberian kita pada mereka, kita kan belum tahu, ber-khusnudzonlah, Insya Alloh uang yang kamu berikan dengan ikhlas dan dengan niat membantu akan mengubah profesi mereka yang lebih baik daripada apa yang mereka jalani sekarang.”

Kata-kata sang Habib yang cukup panjang itu menjadi renungan bagi saya.
Lambat laun, beberapa hari setelah pembicaraan saya dengan sang Habib, maka sedikit demi sedikit sikap dan penilaian saya terhadap seorang pengamen berubah lagi-tidak semiring dulu.

Ada perubahan mendasar dari pelajaran yang saya terima dari sang Habib. Selain perubahan sikap juga perubahan motivasi saya, ketika saya sekarang memberi “cepek” pada sang pengamen. Kalau dulu kita memberinya dengan dorongan rasa penghargaan atas jasa mereka dan kasihan saja.

Kini ada tambahan motivasi lain yang lebih istimewa, yaitu persaaan cinta kasih dan menolong sesama dari barokah sedikit uang yang kita berikan. Barokah pemberian yang kita sampaikan di sini lebih ber titikberat pada perubahan sikap mereka untuk menemukan profesi lain yang lebih terhormat. Bukankah konsep amal dan barokah itu sangat ilmiah.

Saya jadi ingat hukum aksi min reaksi dalam pelajaran Fisika yang menyatakan, bahwa energi yang kita lepaskan tidak akan hilang akan tetapi hanya berubah bentuk. Insya Alloh energi berupa amal yang kita berikan pada orang lain dengan niat ikhlas, cinta kasih dan menolong akan berubah bentuk menjadi perubahan keadaan seseorang yang kita bantu (termasuk pada pengamen) menjadi lebih mapan dan lebih maju, termasuk juga pada kemapanan dan kemajuan kita sendiri.

Apalagi di bulan-bulan ramadhan seperti ini, tentunya pemberian kita akan lebih berkah dan berlimpah pahalanya. Mudah-mudahan demikian, amiin. Wallahu a’lam.(ipg)

Bagikan
Berita Terkait

Keberkahan Rumah Tangga Nabi SAW

Keteguhan Hati Nabi SAW

Berpuasa di Negeri Sunyi


Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
30o
Kurs