Oleh: Ayub Syafii
Seperti yang telah biasa dilakukan Beliau, ketika salah satu sahabat meninggal dunia, Rasululloh mengantar jenazahnya sampai kuburan. Dan pada saat pulang, Beliau menyempatkan singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap tawakal dan sabar menerima musibah itu.
Kemudian Rasululloh bertanya, “Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?”
Istrinya menjawab,”Saya mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal.”
“Apa yang dikatakannya?”
“Saya tidak tahu, ya Rasululloh, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul-maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” desak Rasululloh.
Istri yang setia itu menjawab,”Suami saya mengatakan’Andaikata lebih panjang lagi. Andaikata yang masih baru. Andaikata semuanya.’ Hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya.
Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?”
Rasululloh tersenyum. “Sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,” ujarnya. Kisahnya begini. Pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Di tengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama.
Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalehnya itu. Lalu ia pun berkata,’Andaikan lebih panjang lagi.’ Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi pasti pahalanya lebih besar pula.
“Ucapan lainnya ya Rasululloh?” tanya sang istri mulai tertarik.
Nabi menjawab, “Adapun ucapnya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebua mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.”
“Kemudian, ucapanya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasululloh?” tanya sang istri makin ingin tahu.
Dengan sabar Nabi menjelaskan,”Ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau segera menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging dan mentega. Namun, tatkala hendaknya dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian , pada waktu suamimu nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separuh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.’ ”
Memang begitulah keadilan Allah. Pada hakikatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang akan beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah SWT.
Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri. Karena itu, Allah SWT mengingatkan: “Kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.” (Surah Al-Isra’:7)
Rasululloh SAW. Bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesama manusia.” . (ipg)