Oleh: Ust. Mashuda al Mawwas
“Alloh senantiasa menolong hamba selama hamba itu selalu menolong saudaranya.” Maksud menolong di sini adalah dengan hati, tubuh, harta dan kedudukan.
Dikatakan bahwa hadits ini global dan penjelasan mengenai hal itu tidak akan termuat oleh lembaran-lembaran kertas (Thurus). Sebab pertolongan ini mutlak ada dalam semua kondisi dan situasi, tidak terbatasi oleh garis masa dan tempat. Karena itu, jika seorang berniat menolong saudaranya, maka hendaknya dia memantapkan hati dan tidak usah ragu untuk melaksanakan keinginannya.
Sungguh Nabi Muhammad SAW tidak membatasi ladang pertolongan itu dengan keadaan tertentu, tetapi beliau Muhammad SAW menyatakan bahwa pertolongan itu senantiasa ada selama hamba mau menolong saudaranya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa dalam kebutuhan saudaranya, maka Alloh ada dalam kebutuhannya.” (HR Ahmad).
Karena tidak terbatas oleh apapun, maka bentuk pertolongan yang bisa dilakukan juga penuh warna dan macam yang menjadikan setiap orang mudah mendapat peluang. Rasulullah pernah bersabda, “Amal yang paling utama adalah memasukkan kebahagiaan (Idkhol Surur) dalam hati orang beriman; kamu berikan pakaian untuk (menutup) auratnya, kamu kenyangkan laparnya, atau kamu penuhi kebutuhannya.” (HR Thobaroni).
Bahkan kemurahan Alloh menyiapkan ampunan bagi siapa yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, baik kebutuhan terpenuhi maupun tidak.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, baik terpenuhi atau tidak, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan ditulis baginya kebebasan dari neraka dan kebebasan dari nifaq.” (Lihat Kitab Muntahas Suul, Abdulloh bin Sa’id Muhammad Abbaadi al Lahji/3/317)
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Khobbab bin al Arott termasuk dalam Sariyyah yang dikirim oleh Rosululloh SAW. Nabi Muhammad SAW kemudian menggantikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh Khobbab yaitu memerah susu kambing untuk keluarga sariyyah itu. Pada saat Rosululloh SAW memerah, maka susu kambing itu begitu deras mengalir hingga bejana yang biasa dipakai tidak muat lagi. Ketika Khobbab datang, maka susu itupun kembali seperti semula.
Abu Bakar ra juga demikian halnya. Sebelum menjadi kholifah, beliau biasa memerah susu domba-domba satu kampung. Dan ketika menjabat kholifah, maka orang-orang berkata: “Sekarang Abu Bakar tak akan melakukan hal itu lagi”. Berkaitan dengan hal ini Abu Bakar ra menjawab: “Ya, aku tetap akan melakukannya. Aku tidak ingin aktivitas baruku ini mengubahku dari hal-hal yang sebelumnya telah aku kerjakan.” Hal ini karena orang Arab menganggap saru bila seorang wanita memerah susu.
Umar ra memiliki kebiasaan mencari para janda dan menimba air untuk mereka di malam hari. Suatu malam, Tholhah melihat Umar memasuki rumah seorang wanita. Pada siang harinya Tholhah datang ke rumah itu dan ternyata penghuninya adalah seorang wanita tua yang buta lagi tidak bisa berjalan. Menyaksikan ini Tholhah bertanya, “Apa yang dilakukan oleh lelaki itu (Umar) di sini?” Wanita tua itu menjawab, “Sejak lama lelaki itu datang dan mengurus keperluanku, membuang kotoranku dan menyapu rumahku.” Mendengar ini Tholhah berkata dalam hati, “Ibumu meratapimu, apakah kamu meneliti kesalahan-kesalahan Umar?”
Dalam sebuah kesempatan al-Hasan ra memerintahkan Tsabit al Bunani untuk suatu keperluan. Tetapi Tsabit mengelak dan beralasan, “Saya sedang beri’tikaf.” Mendengar ini al-Hasan berkata, “Apakah kamu tidak mengerti bahwa langkahmu dalam kebutuhan saudaramu lebih baik bagimu daripada haji sunnah?”
Wallahu a’lam. (ipg)