Oleh: Bahtiar HS
Ramadhan belum usai, dan Madinah sedang bersuka-cita. Para sahabat pulang dari Badar membawa kemenangan gemilang. Musuh tunggang-langgang dengan kekalahan besar. Ghanimah berlimpah. Dan 70 orang menjadi tawanan kaum muslimin.
“Ya, Rasulullah! Sesungguhnya mereka itu masih kerabat kita dan juga kerabat Engkau. Diantara mereka ada yang dari pihak ayah-ayah kita, mamak-mamak kita, anak-anak dari mamak-mamak kita, saudara-saudara kita, dan paling jauh famili kita,” kata Abu Bakar.
Rasulullah meminta pendapat para sahabatnya, baik dari Muhajirin maupun Anshar, tentang nasib para tawanan. Sementara wahyu belum juga turun. Abu Bakar mendapat giliran pertama menjawab pertanyaan Rasul.
“Maka dari itu aku berpendapat bahwa mereka itu lebih baik Engkau kasihi dan sayangi, sebagaimana Allah telah mengasihi dan menyayangi Engkau,” lanjut Abu Bakar hati-hati. “Jadi, lebih baik mereka kita merdekakan atau kita mintai tebusan dengan harta benda, yang akan berguna untuk menambah kekuatan kita. Dengan jalan ini, semoga Allah menghadapkan hati mereka kepada petunjuk yang benar.”
Banyak kepala mengangguk mengiyakan, sependapat dengan Abu Bakar.
Namun, Rasulullah hanya diam dan tersenyum. Selanjutnya beliau bertanya pada Umar. “Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnul Khattab?”
“Ya Rasulullah. Aku tidak sependapat dengan Abu Bakar karena mereka nyata-nyata musuh Allah dan musuh Engkau!” jawab Umar dengan tegas. Keras. Tanpa tedeng aling-aling. “Mereka pernah mendustakan Engkau, pernah menganiaya Engkau, pernah mengusir Engkau, dan juga telah memerangi Engkau. Karena itu, lebih baik mereka dibunuh. Dipotong lehernya!”
Ruangan mendadak senyap. Urat-urat leher tertarik kuat. Hingga malaikat pencabut nyawa serupa melintas di antara kepala mereka.
“Meskipun mereka memiliki hubungan famili dengan kita, tetapi mereka telah nyata menjadi kepala kekufuran dan kemusyrikan. Karenanya, tidak selayaknya mereka kita biarkan hidup di muka bumi ini!”
Hening. Tak heran jika setan pun lari terbirit hanya mendengar akan kedatangan Umar.
“Bahkan aku meminta, ” kata Umar selanjutnya. “agar yang memotong leher mereka hendaknya yang memiliki hubungan famili dengan yang dibunuhnya. Ali biarlah membunuh Aqil. Hamzah biarlah membunuh Abbas. Demikian pula yang lain. Yang demikian itu supaya tampak bagi mereka bahwa kita sedikitpun tidak senang kepada mereka dan kepada siapa saja yang musyrik kepada Allah sekalian alam.”
Tegas. Keras. Tegang. Namun, Nabi hanya diam dan tersenyum. Kemudian beliau menoleh kepada Sa’ad bin Mu’adz, pemuka kaum Anshar. “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Amr?”
Sa’ad kemudian menjawab, “Ya, Rasulullah. Aku setuju dengan pendapat Umar, karena memang sudah tidak ada gunanya lagi kita memberikan kasih sayang pada mereka.”
Nabi pun diam. Kemudian beliau meminta Abdullah bin Rawahah, pemuka Anshar yang lain untuk mengemukakan pendapatnya.
“Ya, Rasulullah,” jawab Abdullah. “Menurutku mereka lebih baik kita kumpulkan dan ikat bersama-sama di jurang … itu yang banyak kayunya. Lantas di sana mereka kita bakar. Habis perkara!”
Nabi tetap diam. Kemudian beliau bertanya sekali lagi pada Abu Bakar. Juga Umar. Tetapi, keduanya tetap pada pendapatnya. Kemudian beliau juga bertanya kepada sekalian yang hadir. Sebagian besar setuju dengan Abu Bakar, lantas berbaris di belakang sahabat terkemuka itu. Sebagian sisanya setuju dengan Umar. Mereka pun berbaris di belakangnya.
Nabi akhirnya berdiri dan masuk ke dalam rumah beliau.
***
Tak lama kemudian, Baginda Nabi keluar dari rumahnya. Beliau memuji Abu Bakar seperti malaikat Mikail yang membawa keridhaan Allah dan ampunan atas hamba-Nya. Juga serupa Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Rasul juga menyanjung Umar seperti malaikat Jibril yang turun membawa kemurkaan Allah dan siksaan atas seteru-seteru-Nya. Juga serupa Nabi Nuh.
Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah telah melemahkan beberapa kaum hingga mereka keadaannya lebih lemah daripada air susu. Dan sesungguhnya Allah juga telah mengeraskan hati beberapa kaum hingga keadaannya lebih keras daripada batu.”
Selanjutnya, Rasul pun menjatuhkan putusan. “Sesungguhnya kalian memiliki kewajiban. Karenanya, janganlah melewatkan seorang laki-laki mereka (yang tertawan) melainkan mereka harus membayar tebusan dengan harta benda atau terpenggal lehernya.”
Abu Bakar tampak lega dengan keputusan Nabi. Umar pun bisa menerima. Dan para sahabat yang lain ridha dengan putusan Nabi yang adil itu.
***
Sejak kapan hukuman mati (death penalty atau capital punishment; capital (Latin) berarti kepala) diberlakukan? Amnesty Internasional mencatat, hukuman mati sudah diberlakukan semenjak Raja Hammurabi (1728-1686 SM) dari Babylonia.
Hukuman mati di Inggris diberlakukan sejak abad X. Ada 222 jenis kejahatan yang masuk kategori bisa dihukum mati. Akibatnya, memotong pohon, berbuat sesuatu secara sembunyi-sembunyi, menggali tanah penuh lubang kelinci, dan hal “remeh-temeh” lainnya bisa menyebabkan orang digantung.
Tahun 1823-1837, dari 222 jenis kejahatan terkurangi menjadi 122 jenis saja, karena masyarakat mulai merasa hukuman mati begitu kejam.
Amnesty Internasional mencatat 122 negara sudah menghapus hukuman mati. Tinggal 74 negara lainnya masih menerapkannya hingga kini, termasuk China, Singapura, Malaysia, Iran, Vietnam, Amerika, dan negara-negara Timur Tengah. Banyak negara mulai mempertimbangkan penghapusan hukuman mati itu. Korsel misalnya membatasi hukuman mati sejak Desember 1999. Ini dilakukan setelah Kim Dae Jung, yang pernah divonis hukuman mati, berhasil menjadi presiden.
Selalu saja hukuman mati, dengan segala cara, menjadi kontroversi hingga kini. Selalu saja ada yang mengaitkannya dengan HAM, yang tentu saja akan bertentangan karena menghilangkan nyawa orang berarti otomatis melanggar hak asasi orang itu. Setidaknya hak untuk hidup. Lebih dari itu, hukuman mati merupakan hukuman yang dirasa “terlalu keras”.
Namun, jika sebuah hukuman diberlakukan setimpal; mata dibalas mata, telinga dibalas telinga, hidung dibalas hidung, gigi dibalas gigi, jiwa dibalas jiwa (qishash), bukankah hal itu adil? Setimpal, tidak berat sebelah? Ya, adil memang. Tetapi kejam, kata sebagian orang.
Sebagaimana pencuri dipotong tangannya atau seorang yang berzina dirajam kepalanya hingga mati. Inilah jika sesuatu dilandaskan hanya pada rasio semata. Dan karena pada dasarnya manusia, kata Thomas Hobbes, mementingkan diri sendiri disamping rasional, maka secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamanya daripada membentuk harmoni.
Setidaknya berbeda pendapat tentang apa yang baik, meski boleh jadi sama-sama “benar”. Oleh karena itu, Hobbes menyebut perlunya sebuah “kewenangan absolut” untuk memberi putusan terakhir mengenai aturan yang berlaku untuk masyarakat. Sayang Hobbes hanya berhenti pada “pemerintahan yang berdaulat” sebagai yang memiliki kewenangan mutlak itu, dan tak pernah menyebut Tuhan.
Rasul bahkan sudah bertindak adil dengan mengakomodasi pendapat terbanyak yang diwakili Abu Bakar dan tetap mengakomodasi pendapat “keras” Umar dan Sa’ad. Namun, ternyata keputusan yang adil namun tidak berdasar kewenangan absolut Tuhan (wahyu) itu, meski tidak salah karena sudah terlanjur dan tidak ada ketentuan sebelumnya, tetap diperingatkan Allah sebagai keputusan yang “tidak patut”.
Kebenaran karenanya adalah apa-apa yang benar menurut syara’ dan bukan berdasar sekadar suara terbanyak.
***
Keputusan sudah ditetapkan Nabi. Sebagian tawanan sudah dilepaskan dengan tebusan. Namun, selang beberapa hari kemudian, wahyu Allah pun turun.
“Tidak patut bagi seorang Nabi memiliki tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (Q.S. Al-Anfaal: 67-68)
Seketika itu Nabi yang agung dan Abu Bakar bercucuran air mata. Teguran apa lagi yang lebih keras daripada teguran Tuhan Semesta Alam? Di kala itu, Rasulullah kemudian bersabda, “Hampir saja kita terkena azab yang besar karena menyalahi pendapat Ibnul-Khattab! Dan jika turun azab, niscaya tidak akan terlepas dari azab itu melainkan Umar sendiri.” (Ada sebagian riwayat yang menyebut Sa’ad bin Mu’adz. Mungkin yang dimaksud adalah kedua orang itu yang memang berpendapat “keras” untuk membunuh para tawanan). (ipg)