Oleh: Ayub Syafii
Hari Raya Idul Fitri telah tiba. Umat Islam di Madinah merayakan hari bahagia itu dengan mengumandangkan takbir dan tahmid. Mereka telah memenangkan perang melawan hawa nafsu; sebulan suntuk mereka telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Dengan pakaian yang paling bagus Nabi Muhammad SAW. Bergegas berangkat dari rumahnya menuju ke lapangan untuk menunaikan shalat jamaah Idul Fitri. Masyarakat telah berjejal menunggu kedatangan Rasulullah.
Di sepanjang jalan anak-anak kecil berlari-larian dengan suka cita karena Lebaran telah tiba. Pakaian mereka bagus-bagus, dan wajah mereka cerah semuanya. Tidak ada yang berduka cita. Hari itu adalah hari gembira.
Akan tetapi alangkah herannya Nabi Muhammad SAW. Tatkala menyaksikan di sudut sebuah bangunan tua, seorang anak kecil berpakaian butut tengah duduk menghadap dinding seraya menangis tersedu-sedu.
Nabi Muhammad SAW. Mendatangi anak itu, lalu bertanya, “Hai, anakku, mengapa engkau menangis sendirian pada hari saat kita sedang bergembira ria?”
Anak kecil itu, tanpa menoleh untuk melihat siapa yang bertanya, langsung menjawab, “Bagaimana tidak menangis, mereka punya pakaian baru sedang aku tidak.”
Nabi tercekat hatinya, “Jadi, mengapa engkau tidak berganti pakaian dan bermain-main dengan kawan-kawan sebayamu?”
“Mereka tidak mau aku berdekat-dekat sebab pakaian jorok dan compang-camping. Dulu, waktu aku masih punya ayah, tiap Hari Raya aku juga mengenakan pakaian baru, perutku kenyang, duitku banyak.”
“Ayahmu ke mana, Nak?”
“Ayahku sudah meninggal. Ibuku sudah kawin lagi. Dan nasibku tersia-sia sebab harta peninggalan ayahku dihabiskan oleh ayah tiriku.”
Nabi tercenung, lalu ia berkata, “Anakku, seandainya Fatimah jadi kakakmu, Ali bin Abi Thalib jadi abangmu, Hasan dan Husain jadi saudaramu, dan aku jadi ayahmu, apakah engkau suka?”
Anak itu terperanjat. Ia berpikir, jangan-jangan yang berdiri di dekatnya ini adalah Rasulullah. Maka cepat-cepat ia menengok. Setelah nyata siapa yang tadi berkata begitu, ia pun berseru gembira, “Tentu saja saya senang ya Rasulullah,” sambil memeluk erat kaki Nabi Muhammad SAW.
Maka oleh Nabi Muhammad SAW. anak itu digendongnya dan dibawaya kembali ke rumah. Dengan tangannya sendiri Rasulullah memandikan anak tersebut, mencarikan dan memakaikan baju serta gamis kecil kepada anak yatim itu, lalu memberikannya sarapan pagi dan sejumlah uang. Setelah dilepasnya anak itu bermain-main, barulah Rasulullah untuk menjalankan shalat sunnah Idul Fitri bersama segenap penduduk Madinah.
Anak kecil itu dengan riang tertawa-tawa mendatangi kawan-kawannya yang sedang asyik bersuka ria. Mereka keheranan melihatnya sekarang tertawa gembira, padahal belum lama tadi masih menangis tersedu-sedu. Maka salah seorang di antara mereka bertanya ingin tahu, “Hai, aneh betul kamu. Tadi menangis, kini tertawa. Ada apa?”
Anak yatim itu menyahut bangga, “Tadi aku menangis karena tadi aku lapar. Sekarang aku tertawa karena aku kini kenyang. Tadi aku menangis karena tadi aku tidak punya pakaian bagus. Kini pakaianku indah dan masih baru. Juga kini aku punya uang banyak. Tadi aku menangis karena tadi aku tidak punya ayah. Sekarang aku tertawa karena aku sekarang punya ayah.”
“Heran. Dapat ayah dari mana kamu? Siapa ayahmu sekarang?”
“Karena ayah kandungku sudah meninggal, maka Rasulullah mengangkatku jadi anak. Rasulullah adalah ayahku sekarang,” jawab anak itu penuh rasa bahagia.
Kawan-kawannya semua berubah jadi kecewa dan iri hati. Mereka serempak berkata, “Yah, coba ayah kita sudah mati, kita pun bakal punya ayah Rasulullah seperti dia.”(ipg)