Mencoba menghadirkan sebuah festival yang menggabungkan seni dan teknologi, Sito Fossy Biosa Dosen Institut Sains dan Teknologi Terpadu Surabaya (ISTTS) menggagas Festival Visuarekan yang diadakan di Auditorium ISSTS, Surabaya pada 25-27 Oktober 2019.
Berbeda dengan kebanyakan pameran seni di Surabaya, festival ini menggabungkan seni dan teknologi yang ia sebut sebagai seni media baru. Ia menjelaskan, seni media baru merupakan kelanjutan dari kesenian yang memungkinkan penonton pameran bisa ikut serta menyentuh dan memainkan karya seni yang ada.
“Ini kelanjutan dari seni itu sendiri, karena biasanya seni yang kita sebut modern, hanya kita nikmati saja. Tanpa disentuh. Seni media baru lebih interaktif, lebih komunikatif. Jadi penonton juga berhak mendapatkan pengalaman si seniman. Misal memainkan instrumennya dengan cara memainkan robot motorik kinetik. Penonton tidak hanya sebagai penikmat juga sebagai pembawa cerita,” jelasnya ketika ditemui di lokasi pada Jumat (25/10/2019).
Pameran ini menghadirkan 40 kreator dengan total 50 karya. Mereka kebanyakan berasal dari Surabaya dan sebagian lain dari kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan ISI Jogjakarta.
Salah satu karya menarik di pameran ini adalah gabungan seni instalasi, robot, dan instrumen bunyi bernama Genggong. Karya seni ciptaan seniman Toyol Dolanan Nuklir ini memungkinkan penonton untuk memainkan instrumen musik yang sering disebut sebagai noise.
“Genggong. Genggong sebagai nama karakter, robot, instrumen bunyi dan musik. Karena nanti si senimannya seperti menjadi beberapa. Performer, seniman visual, menariknya ini bisa dimainkan oleh semua orang. Menurut saya itu, pengalaman seniman bisa diterima pengunjung,” jelasnya.
Selain Genggong, karya instalasi bertajuk “Otak Otak” juga menarik perhatian pengunjung. Karya seni ini memungkinkan penonton menggambar melalui robot berbentuk otak menggunakan remot kontrol.
“Ada instalasi cahaya, robot-robot yang bergerak. Ketika kita kendalikan dengan remot kontrol dalam tanda kutip. Divisualkan seperti manusia yang hari ini banyak disetir, banyak yang jadi robot, tidak jadi diri sendiri, mengekor, tidak ikonik. Tidak khas.nSedangkam menjadi masnuaia harusnya setiap person harus beda,” kata Sito menjelaskan karya milik Aji Pamungkas tersebut.
Karya lain yang tak kalah menarik adalah “Help Me to Burn!”karya Boni Bulan. Di sini, pengunjung diberi kebebasan menciptakan pola sendiri di sebuah kain berbentuk rok menggunakan media solder. Karya seni fashion eksperimental ini mengajak penonton sejenak ikut menjadi seniman.
“Keterlibatan (penonton, red) tadi benar-benar dijunjung Boni. Interaksi terjadi pada help me to burn. Boni meminta bantuan pada khalayak untuk mendesain konsepnya. Boni tidak bekerja sendiri, setiap goresan pengunjung pasti berbeda,” jelasnya.
Sito berharap, festival yang baru pertama kali digelar ini bisa membangun iklim seni media baru di Surabaya. Ia menilai, surabaya sebagai kota urban memiliki identitas yang kuat tentang teknologi dan industri. Ia berharap, seni juga bisa menjadi pilar utama dalam identitas Surabaya.
“Saya rasa seni harus jadi pilar utama juga di sini (Surabaya, red). Karena 3 hal yang saya sebut tadi jadi satu. Jadi kolaborasi, mau itu komersil dan non komersil, pengetahuan terus bertambah dan menajamkan kreator. Dan masyarakat Surabaya sendiri,” pungkasnya. (bas/iss)