Sabtu, 23 November 2024

Museum Kanker Surabaya, Museum Paling Emosional

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Dr Ananto Sidohutomo, Pembina Yayasan Kanker Wisnuwardhana melihat angka penghitungan jumlah kematian akibat kanker serviks di seluruh dunia, Kamis (4/1/2016). Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Penyakit kanker yang mematikan telah diabadikan dalam Museum Kanker Indonesia di Surabaya. Meski terkesan sederhana, tapi museum ini sebenarnya memuat hal-hal yang memilukan dan menggugah emosi.

Dr Ananto Sidohutomo, Pembina Yayasan Kanker Wisnuwardhana mengatakan, pengunjung Museum Kanker tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga dari berbagai negara.

Para pengunjung menganggap Museum Kanker di Jalan Kayun ini adalah museum paling emosional. Karena selain terdapat berbagai artefak kanker, di museum ini juga terdapat penghitungan aktual korban jiwa akibat kanker serviks di dunia.

“Angka-angka itu mampu membuat pengunjung aware, ada juga yang sampai menitikkan air mata,” ujarnya.

Sebuah ilustrasi sederhana memuat gambar yang mencerminkan seorang ayah menggandeng anaknya, sementara ibunya tidak bersama mereka. Ilustrasi ibu tergambar di bagian yang terpisah.

Sebuah tulisan termuat di antara gambar itu, “MOM … Please Dont DIE!” Sedangkan di bawah tulisan itu terdapat mesin hitung digital bertulisan “Tahun ini kanker serviks membunuh 15.991 perempuan.”

Angka belasan ribu itu berubah sewaktu-waktu bila perempuan korban jiwa kanker serviks di dunia bertambah. “Angka ini kami setel ulang 1 Januari 2016 lalu, sekarang jumlahnya sekian,” katanya.

Alat itu menggunakan rumusan penghitungan nyata dari jumlah korban jiwa akibat kanker serviks yang terdata oleh WHO. Ananto menyebutkan, pernah ada yang melihat angka itu berubah, lalu tiba-tiba duduk lemas dan mulai menangis.

“Ternyata pengunjung itu pernah kehilangan ibu atau keluarganya akibat kanker serviks,” ujarnya.

Salah satu seniman instalasi Surabaya, menurut Ananto, menyebut ilustrasi di dinding ruang utama Museum Kanker itu sebagai seni instalasi modern dan kontemporer. Karena telah menggabungkan visual gambar, kata, dan peralatan digital.

Mengapa kanker serviks, karena kanker yang jamak menyerang perempuan ini adalah kanker pembunuh terbanyak di dunia. Sama halnya dengan kanker payudara.

“Padahal kanker ini adalah dua penyakit kanker yang sudah ditemukan cara pendeteksian dini, serta sudah ditemukan penanggulangannya hingga sembuh. Inilah yang tidak masuk akal bagi saya,” katanya.

Sebab itulah, di Museum Kanker ini juga terdapat Pusat Deteksi Dini dan Diagnostik Kanker yang fokus di kanker serviks dan kanker payudara.

“Di sini ada pemeriksaan Pap Smear untuk mendeteksi kanker serviks. Ada juga pemeriksaan payudara. Selain itu ada fine needle aspiration cytology (FNAC),” ujarnya.

FNAC adalah sebuah metode pendeteksian kanker dengan pengambilan sample melalui jarum halus untuk diperiksa di laboratorium patologi.

“Kalau orang dulu mendeteksi kanker payudara dengan proses pengambilan benjolan, dan prosesnya memakan waktu berhari-hari, dengan FNAC cukup dua jam,” ujarnya.

Sosialisasi pemeriksa payudara sendiri (Sadari) juga menjadi misi di Museum Kanker Surabaya ini. Sebab, dr Ananto menduga, tingginya kematian akibat kanker payudara karena perempuan tidak tahu bagaimana cara mendeteksi benjolan dan harus bagaimana setelah terdeteksi.

“Ironisnya, Museum Kanker Surabaya ini lebih banyak dikunjungi warga dari luar Surabaya atau justru dari luar negeri,” katanya.

Padahal, menurutnya, misi utama Yayasan Kanker Wisnuwardhana adalah menolong penderita kanker dari Surabaya. “Mestinya dari Surabaya dulu,” katanya. (den/dop/rst)

Teks Foto:
– Dr Ananto Sidohutomo, Pembina Yayasan Kanker Wisnuwardhana menunjukkan artefak kanker payudara sebesar bakso granat.
– Dr Ananto Sidohutomo, Pembina Yayasan Kanker Wisnuwardhana menunjukkan cara melihat sel kanker dengan mikroskop.

Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs