Sabtu, 23 November 2024

Pesantren Radikal Ada, Tapi Jumlahnya Sangat Sedikit

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan

Bambang Pranowo Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah mengatakan, memang ada pesantren yang radikal, tapi jumlahnya relatif sedikit dibanding jumlah seluruh pesantren di Indonesia. Jika ada pesantren yang mengajarkan paham radikalisme harus ada tindakan. Polemik terkait pesantren radikal seharusnya tidak terjadi.

“Pondok Pesantren di Indonesia hampir 50 ribu, sedangkan yang terlibat terorisme mungkin belasan. Itu sangat kecil. Apa yang terjadi kemarin itu sebenarnya soal bahasa dan pengemasan saja,” ujar Bambang Pranowo di Jakarta, Selasa (16/2/2016).

Pernyataan Saud Usman Nasution Kepala BNPT soal pesantren terindikasi paham radikalisme menurut Bambang, seharusnya dipahami sebagai bagian dari pencegahan terorisme. Apalagi disebutkan hanya segelintir orang (santri/guru) yang terindikasi radikalisme itu. Apalagi sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan pencegahan terorisme, BNPT memang harus lakukan program pencegahan di segala lini masyarakat.

“Sebenarnya ini psikologis saja. Kalau pernyaataan terkait radikalisme ini keluar dari Kementerian Dalam Negeri (Kemenag), reaksinya biasa saja. Beda kalau lembaga lain seperti BNPT. Ini tidak usah dimasalahkan lagi karena tugas pencegahan terorisme ke depan sangat berat,” kata Bambang.

Yang pasti, menurut dia, soft approach yang ditingkatkan dalam pencegahan terorisme ke depan. Untuk itu, BNPT harus lebih erat bergandengan tangan dengan NU dan Muhammadiyah, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, selain ormas lokal yang bertebaran di seluruh Indonesia.

Hal senada juga disampaikan Haji Abdul Ghofarrozin Sahal Mahfud Ketua Asosiasi Pesantren Rabithah Mahad Islamiyah NU (RMI NU). Menurutnya dari puluhan ribu pesantren di Indonesia hampir semuanya berbasis kultural dan kedaerahan. Dari jumlah itu hanya 19 yang terindikasi radikalisme.

“Pesantren selalu berhasil untuk berdampingan dengan budaya dan masyarakat setempat. Jadi kalau ada pesantren terindikasi radikalisme tersebut, itu jelas telah menyalahi tujuan dan hakekat keberadaan pesantren,” kata dia.

Ia mencontohkan di setiap pesantren tersebut, namanya kiai tidak pernah ditunjuk atau dipilih. Tetapi melalui proses sosialisasi tinggi dan yang bersangkutan memiliki otoritas sehingga mampu mengembangkan wacana keagamaan yang membumi. Yang pasti setiap pesantren memiliki karakter dan potensi di masing-masing daerah. Dengan begitu pesantren berpotensi sebagai kontra wacana dalam membangun basis pengajaran.

“Dengan fungsi itu, pesantren itu justru bisa memfasilitasi pelaksanaan dialog antara kiai, santri, masyarakat, atau bahkan mantan teroris,” ujar Gus Rozin, sapaan karib H. Abdul Ghofarrozin Sahal Mahfud itu.(faz/ipg)

Berita Terkait

Sabtu, 23 November 2024
Kurs