Yusuf Marvel tak mau diam. Bocah berusia empat tahun itu terus berlarian kesana kemari. Rahmawati sang ibu terus mengikutinya sambil membawa kaos berwarna merah, untuk kostum tampil di Hari Pendengaran Nasional di Surabaya.
“Marvel ayo ganti baju, udah mau tampil itu,” ujar Rahmawati sambil memegangi Marvel.
Marvel adalah satu dari ratusan anak dengan gangguan pendengaran di Surabaya dan sekitarnya. Karena pendengarannya bermasalah, maka secara otomatis Marvel juga sulit bicara.
Putra pertama dari pasangan Rahmawati dan Faisal ini baru terdiagnosis gangguan pendengaran di usia tiga tahun.
“Tiga tahun baru terdiagnosa gangguan pendengaran. Saya dan suami langsung shock,” kata perempuan asal Mojosari, Mojokerto ini.
Sejak saat itu, Rahma lebih fokus mendampingi Marvel untuk diterapi di Yayasan Aurica dengan auditory verbal therapy. Rahma memilih menyewa rumah kos di Surabaya bersama Marvel, sementara suaminya faisal bekerja di Mojokerto.
Tidak hanya itu, Rahma dan Faisal juga harus mengeluarkan uang Rp310 juta untuk biaya operasi inplan pendengaran pada Marvel. “Semua demi perkembangan Marvel. Alat ini ditanam sehingga alat sensornya bisa ditempel di kepala bukan ditelinga,” katanya.
Rahma juga baru tahu setahun terakhir ini, jika penyebab anak mengalami gangguan pendengaran itu karena penyakit yang dideritanya saat hamil Marvel.
“Saat hamil Marvel di usia sembilan bulan, saya memang terkena Rubela Campak Jerman,” katanya.
Menurut dokter, kata Rahma, Marvel hanya bermasalah di gangguan pendengaran karena saat dia terserang Rubela saat usia kandungan 9 bulan. “Kalau usia kandungan masih tiga bulan, kondisi bayi bisa katarak, tuli dan membahayakan,” katanya.
Menurut Rahma, mengenal kondisi anak sejak lahir memang penting. Dia juga mengaku, jika saat melahirkan Marvel tidak ada tanda-tanda atau petunjuk pihak rumah sakit kalau anaknya bermasalah dengan pendengaran. Karena tidak ada deteksi dini pendengaran anak.
“Sekarang saya harus berjuang biar Marvel sehat dan tumbuh dengan baik,” katanya.
Sementara itu, Sri Gutomo Ketua Yayasan Aureca mengatakan, tidak ada data valid jumlah penderita gangguan pendengaran pada anak di Jawa Timur. Bahkan, di Surabaya sendiri juga tidak ada.
“Di tempat kami setiap tahunnya ada 50 anak dengan gangguan pendengaran. Di RSUD dr Soetomo katanya sampai 300 anak. Ini belum ditempat lain,” katanya.(bid/iss/