Kehadiran angkutan transportasi berbasis online boleh dibilang merupakan terobosan sebagai solusi atas kemacetan di kota-kota besar Indonesia. Namun, di sisi lain, Uber Taxi dan Grab Car, GrabBike maupun Go-Jek diprotes oleh angkutan umum seperti taksi yang telah lebih dulu resmi beroperasi.
Komisi V DPR RI yang mengurus soal transportasi dan infrastruktur merasa perlu mengajak pemerintah duduk bersama untuk mencari jalan tengah permasalahan ini.
“Ini barang ada, tapi undang-undangnya tidak ada yang mengatur. Dengan keberadaannya seperti saat ini, sangat sulit untuk dibendung karena berbagai faktor, diantaranya kurangnya sarana transportasi yang bisa diandalkan menembus kemacetan kota-kota besar seperti Jakarta,” ujar Muhidin Mohamad Said Wakil Ketua Komisi V DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/3/2016).
Meski banyak masyarakat yang membutuhkan, kata Muhidin, di lain pihak ada yang merasa dirugikan yakni angkutan umum yang resmi seperti angkutan kota dan taksi.
“Jika persoalannya adalah belum adanya Undang-undang, maka Komisi V akan melakukan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sehingga semua bisa masuk dan diatur oleh UU,” kata dia.
Saat ini, boleh dikatakan izin resmi dari angkutan berbasis online belum ada. Jika nanti Undang-undangnya sudah ada, otomatis izinnya ada, dan bisa dikontrol oleh pemerintah termasuk soal pajaknya.
“Untuk mendapatkan solusi persoalan ini, nanti Komisi V akan melakukan rapat dengan Kementerian Perhubungan dan Kepala korps Lalu Lintas Polri (Kakorlantas), sehingga kalau mau direvisi, kita bisa tahu mana poin yang perlu dimasukkan, dan mana yang tidak perlu,” kata Muhidin.
Kemudian, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan, Komisi V meminta Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan, sebelum ada Undang-Undang yang mengatur angkutan berbasis online.
Sekadar diketahui, Senin (14/3/2016), ribuan sopir taksi, bus kota dan bajaj yang tergabung dalam Persatuan Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) menggelar unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta, Kementerian Informasi dan Komunikasi, serta Istana Kepresidenan. Mereka menuntut angkutan berbasis online dilarang beroperasi.(faz/iss/ipg)