Kementerian Ketenagakerjaan menggandeng sembilan perguruan tinggi untuk mengurai permasalahan ketenagakerjaan di Tanah Air dan membuka perspektif baru pembangunan ketenagakerjaan ke depan yang ideal.
“Para ahli dan akademisi diyakini lebih objektif dan memiliki spektrum lebih luas sehingga mampu melihat dan menemukan sisi lain permasalahan ketenagakerjaan. Harapan selanjutnya kita secara kolektif akan mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan untuk pemecahan permasalahan secara lebih baik,” kata Abdul Wahab Bangkona Sekjen Kemnaker dalam sambutan acara penandatanganan nota kesepahaman atau perjanjian kerja bersama di kantor Kemnaker Jakarta, Senin (21/3/2016).
Sembilan kampus yang menandatangani nota kesepahaman itu adalah Universitas Sumatera Utara, Universitas Trilogi Jakarta, Universitas Airlangga, Perbanas Institute, Universitas Negeri Yogyakarta, IAIN Jember, Center for Indonesia Policy Studies, Universitas Hasanuddin dan Universitas Padjajaran.
Perwakilan perguruan tinggi itu tergabung dalam Team of Policy Research (TPR) Ketenagakerjaan yang akan merumuskan kebijakan dan upaya untuk meningkatkan kualitas dan sumber daya pekerja Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan kerja.
Wahab mengatakan permasalahan bidang ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia sangatlah kompleks, maka membangun bidang ketenagakerjaan tidak dapat berdiri sendiri sehingga harus melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk para ahli dan akademisi.
“Guna memecahkan berbagai masalah tersebut, perlu didukung data yang akurat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus diperbaharui, dilaksanakan secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan melibatkan serta partisipasi aktif berbagai pihak terkait,” katanya.
TPR Ketenagakerjaan itu diharapkan dapat menjadi sebuah kaukus yang mampu membantu Kemenaker untuk melihat dan memahami situasi dan kecenderungan ketenagakerjaan secara jernih dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang logis, arif, serta dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan,” kata Sekjen.
Hingga saat ini, pekerja Indonesia masih didominasi oleh pendidikan rendah. Berdasarkan Sakernas Agustus 2015, penduduk usia kerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 80,11 juta orang atau 43 persen. Sedangkan berpendidikan di atas SLTA hanya 15,82 juta (8,59 persen).
Angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 52,26 juta orang atau 42,70 persen, berpendidikan di atas SLTA baru 13,55 juta (11,07 persen).
“Kondisi penduduk yang sudah bekerja pun belum sesuai harapan, karena masih lebih banyak yang bekerja informal yakni 59.38 juta atau 51,7 persen dari 114,8 juta orang yang bekerja, ” ujarnya.
Dari data yang dihimpun, tahun 2013, penduduk usia muda yang terjun ke pasar kerja sebanyak 16,39 juta dan mengalami kenaikan setahun berikutnya menjadi 15,66 juta dan terus melonjak tahun 2015 menjadi 15,75 juta.
Sementara di pihak lain, pada tahun 2013 ditemukan banyak jumlah pengangguran usia muda yakni 4,51 juta jiwa dan mengalami penurunan setahun berikutnya menjadi 4,47 juta. Namun di tahun 2015 kembali melonjak menjadi 4,60 juta.
Pengangguran usia muda ini seharusnya masih bersekolah-kuliah, sehingga mestinya mereka itu masih tergolong bukan angkatan kerja.
“Mereka sesungguhnya masih memerlukan peningkatan kualitas dan produktivitas melalui pendidikan dan pelatihan kerja. Tetapi, ketika terlalu dini masuk ke pasar kerja, maka mereka dapat langsung terjerumus dalam kemiskinan struktural,” katanya.(ant/iss/ipg)