Sabtu, 23 November 2024

Paradoks Sistem Sekolah yang Menurunkan Minat Baca

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Aktivitas wajib baca buku di SMA 5 Surabaya. Foto: Totok / Dok suarasurabaya.net

Profesor Daniel M. Rosyid Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur mengatakan, minat baca dan menulis masyarakat Indonesia rendah karena terlalu cepat tersalip budaya instans.

“Indonesia belum sempat membangun buadaya membaca, budaya TV keburu masuk. Sehingga, belum sempat mentradisikan budaya tutur, sudah pindah ke budaya nonton,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (17/4/2016).

Menurut Daniel, pasca kemerdekaan, minat baca masyarakat Indonesia masih relatif baik. Budaya baca mulai turun justru seiring menguatnya sekolah-sekolah.

“Jadi ada sebuah paradoks. Menguatnya sekolah menjadikan generasi bangsa termonopoli hanya pada persoalan yang dangkal. Anak bisa lulus hanya dengan menghafal soal, latihan soal dan membaca catatan pelajaran,” ujarnya.

Di Amerika kata Daniel, sebelum tradisi sekolah menguat, orang-orang amerika belajar dengan membaca bukan dari sekolah.

“Bahkan, para perintis Amerika itu justru hidup dan karir mereka dibangun dari membaca bukan dari sekolah. Seperti Thomas Alfa Edison dan Abraham lincoln, mereka besar dari membaca,” katanya.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ini menilai, sistem persekolahan di Indonesia yang terlalu memonopoli, itu justru mengurangi kesempatan membaca bagi anak-anak.

“Anak disibukkan dengan les. Lalu, perpustakaan yang buruk. Budaya kampus pun juga masih membaca buku bacaan dangkal. Sekolah hanya menjadikan siswa biusa membaca tapi tidak senang membaca,” katanya.

Menurut Daniel, yang terpenting saat ini bagaimana guru mulai SD bisa menggerakkan minat baca yang menyenangkan.

“Beri kesempatan anak membaca yang cukup. Perpustakaan harus menarik. Jangan sampai anak lulus hanya latihan soal dan membaca catatan,” katanya.(bid)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs