Sabtu, 23 November 2024

Tidak Ada Aturan Diskriminatif dalam Revisi UU Pilkada

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Lukman Edy angota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI. Foto: Faiz suarasurabanya.net

Lukman Edy angota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI menegaskan jika dalam revisi Undang-Undang (UU) Pilkada No.8 tahun 2015 sama sekali tidak ada aturan yang diskriminatif bagi calon kepala daerah. Baik untuk calon perseorangan, independen, parpol, petahana, dan lain-lain.

Untuk aturan suara pencalonan misalnya hampir disepakati bagi calon perseorangan tetap 6,5 % – 10 %, dan bagi calon dari parpol 15 % – 20 %. Kini tinggal mendapat persetujuan dari pemerintah dan diusahakan tanggal 29 Mei 2016 sudah selesai, dan jika belum tuntas juga, maka pada bulan Juni akan disahkan.

“Jadi, revisi ini sama sekali tidak ada niat sedikit pun untuk diskriminasi bagi semua calon kepala daerah. Justru berangkat dari asas keadilan dan kesetaraan untuk revisi UU ini. Soal mundur atau tidak mundur juga sudah dikonsultasikan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), agar tidak ada diskriminasi bagi anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD bahwa mereka ini cukup berhenti dari jabatannya sebagai pimpinan DPR, pimpinan komisi, dan pimpinan alat kelengkapan DPR yang lain, tapi tetap sebagai anggota DPR RI seperti diatur dalam UU MPR,DPR,DPD dan DPRD (MD3),” ujar Lukman dalam diskusi forum legislasi “Polemik Revisi UU Pilkada” di gedung DPR, Selasa (26/4/2016).

Kata dia, khusus untuk TNI/Polri dan PNS tetap tidak boleh berpolitik sesuai dengan UU terkait. Sedangkan terkait money politics yang sering terjadi antara pasangan calon (Paslon) kepada pemilih, tim sukses paslon kepada penyelenggara pemilu (PPS dan PPK) dan lainnya itu sebagai pelangggaran adminstratif dan pidana.

“Kalau administratif bisa didiskualifikasi pencalonannya, sedangkan yang pidana menjadi kasus pidana di pengadilan. Kalau pelanggaran administratif merupakan kewenangan Bawaslu dan KPU yang akan mengeluarkan administrasi diskualifikasi,” ujar dia.

Sementara Juri Ardianto komisioner Komisi PemilihanUmum (KPU) menegaskan, kalau PNS dalam aturannya tidak boleh menjadi pengurus parpol. Tapi, kalau KTP-nya menjadi dukungan untuk paslon tertentu, seharusnya boleh.

“Itu yang mengatur UU ASN (aparatur sipil negara) termasuk TNI/Polri. Namun, KPU tidak mempunyai wewenang untuk mempertanyakan asal KTP paslon, sehingga KPU melakukan verifikasi secara langsung. Teguran pun bentuknya rekomendasi, sementara rekomendasi tak memiliki kewenangan untuk menindak,” kata Juri.

Untuk anggaran, menurut Juri, antara APBN dan APBD di pemerintah sendiri belum clear (jelas) meski KPU mendorong agar bisa menggunakan APBD.

“Kemendagri maunya dana hibah (APBN), tapi Kemenkeu RI tidak demikian, sehingga belum ada titik temu di pemerintah. Padahal, standarnya tidak harus sama antara daerah satu dengan yang lain, karena anggaran yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Misalnya, anggaran untuk Pilkada di Papua pasti berbeda dengan Jawa Timur dan seterusnya. Di Papua pasti lebih mahal karena daerahnya sulit,” ujar Juri.

Tapi kata Lukman Edy, DPR mengusulkan kalau dana APBN yang akan dianggarkan yaitu melalui pengurangan dana transfer daerah.

Kalau soal e-KTP, kata Juri, banyak KTP yang terekam di e-KTP, tapi tidak semua ada di DP4 atau daftar pemilih tetap (DPT). Sehingga meski semuanya e-KTP belum tentu tingkat akurasinya 100%. Apalagi ketika pemilu bagi warga yang berusia 17 tahun belum tentu masuk DPT di saat pemilu berlangsung.

Khusus materai menurut Juri, sama sekali tidak ada peraturan KPU (PKPU) yang mewajibkan ada materai di setiap KTP bagi paslon perseorangan. Sebab, materai itu hanya terkait pembayaran pajak.

” jika KTP terkumpul di satu desa, maka untuk satu desa itulah satu materai. Jadi, tidak benar setiap KTP harus ada materainya,” ujar dia.

Sementara itu Karyono Wibowo pengamat politik dari Indonesia Public Institute berharap revisi UU Pilkada khusus terkait calon perseorangan ini jangan sampai akibat munculnya fenomena Ahok di Jakarta, sehingga UU Pilkada itu akan mempersulit calon independen. Padahal, calon independen sejak 2005-2015 yang berhasil baru 5 % .

“Revisi ini semacam ada kekhawatiran parpol, jika Ahok menang di Jakarta, maka akan menjadi efek domino ke daerah-daerah lain di seluruh Indonesia untuk masuk melalui jalur perseorangan,” kata dia.(faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs