M Prakosa Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan menyatakan bahwa sebenarnya tudingan kunjungan kerja (kunker) fiktif itu kurang berdasar. Sebab dugaan fiktif muncul karena sistem pertanggungjawaban yang dibuat bagi anggota dewan adalah lumpsum.
Padahal, kegiatan politik seperti kunjungan kerja tidak bisa diatur-atur orang lain. Yang menentukan adalah politisi itu sendiri, apakah masih ingin terpilih atau tidak.
“Yang memutuskan dia hadir atau tidak dalam suatu rapat atau kunjungan, ya politisi itu sendiri. Oleh karena itu pertanggungjawaban dibuat lumpsum. Lumpsum pun sebenarnya tidak pas,” kata Prakosa, Jumat (13/5/2016).
Menurut dia, sistem yang pas adalah seperti yang dipraktikkan di negara-negara dengan pemilihan langsung. Yakni politisi mendapat suatu jumlah biaya tertentu dalam satu tahun untuk kebutuhan bertemu konstituen dan kunjungan kerja.
Dari situ, apakah si anggota memakai staf atau tidak untuk daerah pemilihan masing-masing, akan menjadi keputusan politiknya.
“Sementara kalau DPR kita sekarang ini sebenarnya merendahkan martabatnya sendiri. Karena kalau kita akan kunjungan Dapil, harus minta uang ke Sekjen DPR. Setelah Sekjen oke, baru kita bisa ke Dapil,” kata dia.
Dengan praktik demikian, anggota dewan sepertinya berada di bawah Sekjen DPR, paling tidak dalam hak keuangan.
“Sementara anggota parlemen di negara-negara lain pasti punya hak keuangan, tidak seperti di Indonesia yang diperlakukan seperti pegawai. Masa akan melakukan kegiatan harus minta Sekjen? Dan setelah selesai kegiatan harus membuat laporan pertanggungjawaban?” kata Prakosa.
“Sepertinya Sekjen seakan seperti atasan yang memutuskan kita untuk dapat berkegiatan. Sekjen DPR itu kan bagian dari Eksekutif atau Pemerintah. Jadinya, kalau mau melakukan kegiatan politik adalah harus ijin Pemerintah atau eksekutif ,” kata dia lagi.
Sekadar diketahui, adanya potensi kerugian negara dalam kunker perseorangan anggota DPR disampaikan pertama kali oleh Hendrawan Supratikno Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR.
BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 945.465.000.000 dalam kunjungan kerja perseorangan yang dilakukan oleh anggota DPR RI.
Laporan ini sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR dan diteruskan ke sepuluh fraksi di DPR.
Sementara Harry Azhar Azis Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengatakan jika BPK belum menemukan adanya kunjungan kerja (kunker) fiktif yang menyebabkan potensi kerugian negara hingga Rp 945,46 Miliar. Saat ini BPK memang sedang melakukan pemeriksaan rutin anggaran 2015 kementerian dan lembaga, termasuk DPR.(faz/iss/ipg)