Selain menjadi korban pencabulan, ZR (13) juga pengguna aktif pil koplo. Dia mengaku sering diberi oleh AS (14) pelaku utama pencabulan sejak duduk di kelas 6 Sekolah Dasar.
“Saya sekali minum langsung satu tik (berisi 10 butir, red). Kalu tidak minum terasa gak enak, agak sesak napas,” katanya saat ditanya penyidik PPA Polrestabes Surabaya, Jumat (13/5/2016).
ZR juga mengaku jika tidak diberi AS, dia beli sendiri dengan uang hasil mengemis di kawasan Makam Ngagel. Dia membeli pil koplo ini melalui media sosial Facebook.
“Saya pesen di Facebook terus janjian ketemu. Waktu ketemu kesepakatannya tidak saling lihat wajah,” katanya.
Dalam sepekan, ZR mengaku mengonsumsi lima tik. Sehari dia minum satu tik pil koplo yang dia beli dari online. “Satu tik harganya Rp10 ribu. Saya ngemis dengan di dekat stand penjual bunga di Makam Ngagel, setiap dapat Rp10 ribu saya gunakan untuk membeli pil,” katanya.
Sementara itu, Munif Mujianto Konselor Adiksi dari Rumah Rehabilitasi Orbit Surabaya mengatakan, peredaran pil koplo di Surabaya cukup mengkhawatirkan. Meski tidak mengakibatkan adiksi atau kecanduan, Pil ini bisa menimbulkan perilaku agresif dan tidak terkontrol.
“Kalau ketergantungan tidak, hanya adiksi pasif. Pil ini bisa menimbulkan perilaku agresif, bisa menimbulkan tindak kriminal dan kejahatan,” katanya kepada suarasurabaya.net.
Menurut Munif, pil koplo atau Dobel L sulit ditindak oleh Kepolisian maupun BNN karena tidak masuk dalam Undang-undang Narkotika.
“Hanya masuk di Undang-undang kesehatan. Kecuali pengedar yang minimal memiliki 1.000 butir baru bisa ditangkap,” katanya.
Kendati demikian, Munif mengatakan, peredaran pil koplo ini harus diberantas, karena bisa menjadi pintu gerbang menuju narkoba yang lebih tinggi, seperti sabu-sabu, ganja, ineks dan heroin.
“Di Surabaya pemakainya rata-rata di usia SD sampai SMP. Pil koplo bisa menjadi penghantar generasi muda menuju pecandu narkoba, ini bahaya. Apalagi pabriknya dilakukan di rumahan,” katanya.(bid/iss/ipg)