Sabtu, 23 November 2024

Ludruk Surabaya dari Ruang yang Tak Biasa

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Ilustrasi pementasan Ludruk Surabaya.

Di sebuah malam akhir April 2016, ratusan pengunjung padati Taman Hiburan Rakyat (THR), Surabaya. Sesekali, mereka terkekeh ketika nonton Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Suparti dengan piawai memerankan tokoh si Mbok yang mengomel dalam logat Surabaya yang kental.

Begitu juga saat Reny Widya Lestari, ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia yang juga galak dan lucu dalam pementasan salah satu tokoh ludruk di Taman Hiburan Rakyat itu.

AKBP Suparti adalah polisi aktif yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya. Setiap hari, Suparti berurusan dengan pecandu narkotika, namun bersama belasan pengusaha dan seniman, Suparti akhir April itu, mementaskan ludruk dengan lakon air mata ibu. Sebuah cerita tentang kedasyatan sosok ibu.

Pementasan kali ini membuktikan jika ludruk yang dulu hanya milik begawan yang bersemadi di ruang sunyi dan kadang jarang mandi, jauh dari riuh rendah duniawi, kini menjelma dari kursi “vice president” sebuah bank, eksekutif perusahaan telekomunikasi, polisi, hingga ke para pengusaha.

“Kemarin yang main itu teman-teman pengusaha, ada juga akademisi, juga polisi. Jadi bagus ludruk saat ini banyak masyarakat yang mulai menyukainya lagi,” kata AKBP Suparti.

Pementasan dalam rangka hari kartini kala itu terbilang sukses meski para pemainnya merupakan amatiran di bidang ludruk. Kesuksesan ini pula yang menjadikan BNNK berencana bermain ludruk khusus untuk membantu kampanye perang melawan narkoba.

Bagi sebagian kalangan mapan di Surabaya, ludruk ternyata menjelma jadi sebuah kesenian pelepas penat. Meski ludruk kalah pamor dibanding ketoprak dan wayang orang, ludruk kini bisa jadi penyalur hobi.

“Saya kebetulan tidak memiliki hobi, beda dengan teman-teman yang betah memancing, ya hobi saya kini ya bermain ludruk, meskinpun saya juga tidak ikut komunitas ludruk,” kata Bagus, salah seorang manager di sebuah bank milik pemerintah ini.

AKBP Dodi Kabag bin Opsnal Ditbinmas Polda Jawa Timur yang juga penghobi ludruk mengatakan, ludruk adalah kesenian sederhana yang kaya makna filosofi sehingga kesenian satu ini mudah untuk dipentaskan dan mulai banyak diminati oleh orang-orang mapan.

“Ludruk itu sederhana, gerakannya juga hanya patah-patah, namun ludruk itu iramanya konsekwen yaitu ro (2) ji (1)ro ji, kemudian nem mo nem mo (6-5-6-5),” kata Dodi.

Ludruk juga kaya makna filosofi misalnya ro ji ro ji itu artinya ro itu dua yaitu keseimbangan, ada laki-laki perempuan, siang dan malam. Begitu juga ji itu artinya nyawiji atau tersampaikan apa yang diharapkan.

Dengan filosofi yang kental dan mudah dimainkan inipula, AKBP Dodi mengaku menjadikan ludruk sebagai sarana paling sering yang dimainkan sepanjang dia menjadi polisi. Dengan ludruk, maka misi kamtibmas yang dia bawakan juga bisa tersampaikan dengan mudah.

Sementara itu, Deden Ketua Ludruk Irama Budaya mengatakan, kerjasama dengan berbagai pihak termasuk merekrut pemain dari kalangan pejabat memang digalakkan untuk mengangkat derajat ludruk. Pementasan dengan menggandeng BNNK dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia yang digelar pada peringatan hari kartini April lalu adalah salah satu contohnya.

“Agar ludruk tak ketinggalan zaman, cerita dan kolaborasi musik juga dilakukan. Misalnya kami menggandeng musisi jazz, ceritanyapun juga kekinian misalnya kita pernah mengambil cerita racun kopi mirna,” kata dia.

Maemunah Wakil Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur mengatakan, meski tak semeriah dulu, ludruk hingga saat ini masih tetap eksis karena idealisme ludruk tidak bisa tergantikan dengan apapun. “Dulu saat orde baru, banyak ludruk yang berganti misalnya jadi ludruknya polisi, tapi mereka tetap eksis,” kata dia.

Ludruk menurut Maemunah, merupakan kesenian yang aneh karena ketika masuk fase industri maka di titik itulah ludruk malah kehilangan penggemarnya. “Saat fase industri, banyak ludruk yang menyampaikan pesan-pesan produk perusahaan, dan saat itulah penggemar ludruk mulai surut,” ujarnya.

Meski tak sejaya era tahun 70 atau 80an, namun Maemunah meyakini ludruk di Surabaya kini mulai bangkit. Sanggar-sanggar ludruk juga mulai bergeliat dan dipadati anak-anak yang diarahkan orang tuanya untuk mencintai dan mempelajari kesenian asli pesisir Jawa Timur ini.

Aribowo pemerhati ludruk dari Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, ludruk memang penuh dengan lika-liku dalam kesejarahannya. Legenda ludruk Cak Durasim dengan “pagupon omahe doronya” membuktikan sejak awal ludruk merupakan satu kesenian yang mengandung kritik sosial.

Kepedulian negara akan kesenian khususnya ludruk, menurut dia, sebenarnya sudah mulai tampak. Namuan kesenian tidak hanya butuh subsidi dana, melainkan juga perlu dikawal terus sehingga luduk tetap bisa menemukan jati dirinya kembali. Minimal, derajat ludruk harus diangkat tak lagi berada di pinggir dan ruang-ruang sunyi yang hanya dihuni oleh para begawan seni yang kadang juga jarang mandi. (fik)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs