Harga gula di pasaran, terutama di wilayah Kabupaten Lumajang yang notabene adalah salah-satu daerah penghasil tebu dan gula terbesar di Jawa Timur, saat ini telah menembus Rp. 15 ribu perkilogramnya. Angka ini dinilai tidak rasional oleh petani tebu yang tergabung dalam APTRI (Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia) Lumajang.
Edy, salah-seorang pengurus APTRI Lumajang kepada Sentral FM, Selasa (17/5/2016), mengatakan bahwa harga gula yang melonjak 50 persen dari harga semula Rp. 10 ribu perkilogramnya sangat memberatkan konsumen.
“Dan kondisi ini memunculkan kecurigaan menjadi sinyal bagi impor gula dari luar negeri. Karena sejak awal kami sudah mendengar bahwa pemerintah akan mengimpor 381 ribu ton gula oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dengan alasan untuk menstabilkan harga,” katanya.
Kondisi ini juga sangat dikhawatirkan petani, karena ketika harga gula sudah setinggi itu maka untuk menurunkan kembali bukan hal yang mudah. Dampak terhadap petani tebu adalah, harga ini akan berdampak dengan semakin merosotnya penghasilan mereka.
“Ini kan sudah menjelang musim giling yang diperkirakan awal Juni depan. Kami jelas resah dengan kondisi harga gula seperti ini. Petani inginnya harga gul ayang wajar lah. Masak, harga lelang gula Rp. 9 ribu perkilogram. Terus harga DO penjualan gula dari PTPN, jatuhnya Rp. 12.500. Kalau harga di pasaran Rp. 15 ribu, nantinya sisanya dibebankan kepada petani yang Rp. 2.500 perkilogram. Sehingga keuntungan petani semakin merosot,” terangnya.
Petani inginnya yang wajar, dimana harga lelang gula dari Rp. 9 ribu, pada musim giling tahun ini bisa naik menjadi Rp. 10 ribu perkilogramnya. Sehingga pasar tidak bergejolak. Pasalnya kondisi tersebut menghantui petani, karena saat menjelang musim giling sebelum ramadhan, harga gula malah naik.
“Nanti harga lelang gula tetap sama, sehingga kerugian kami semakin besar. Untuk itu, kami pernah menyampaikan kepada Direksi PTPN XI untuk menjual sendiri gula dan tetes sisa bagi hasilnya, agar kami bisa berada di posisi yang menguntungkan. Namun belum ada jawaban meski kami telah bersurat resmi ke PTPN XI,” terangnya.
Edy mencurigai, kondisi kenaikan harga gula ini ada kaitannya dengan permainan pemburu rente gula yang telah mengatur kondisi tersebut untuk memasukkangula impor dari luar negeri.
“Karena yang mendapatkan keuntungan jelas pedagang atau pemburu rente gula yang bekerjasama dengan berbagai pihak tertentu. Impor juga akan menguntungkan pedagang,” tuturnya.
Agar kondisi taata niaga gula nasional leih baik, petani tebu di Lumajang juga mendesak pemerintah pusat untuk segera merealisasikan revitalisasi Pabrik Gula (PG) Djatiroto agar kapasitas gilingnya lebih besar lagi. Pasalnya, saat ini kapasitas penyerapan tebu rakyat ke PG Djatiroto sangat minim dibandingkan potensi panen yang dihasilkan petani.
“Kapasitas PG Djatiroto hanya 10 juta kwintal setiap musim giling. Penyerapan tebu petani hanya 3,5 juta kwintal saja. Padahal, hasil panen tebu petani Lumajang mencapai 18 juta kwintal dari luasan kesleuruhan lahan mencapai 21 ribu hektar. Sisanya, tebu dikirimkan ke PG-PG lainnya di Jawa Timur. Dan kalau tidak terserap, terpaksa dijual dnegan harag rendah kepada pemain tebu yang memiliki kerjasama dengan PG. Ini yang lagi-lagi merugikan petani,” ujarnya.
Atau, lanjut Edy, ada investor yang berminat untuk membangun PG swasta di Lumajang seperti yang terjadi di Kabupaten Lamongan melalui PG Kebun Tebu Mas.
“PG Kebun Tebu Mas itu milik swasta yang kapasitasnya sangat besar, mencapai 12,5 juta kwintal permusim giling. Petani Lumajang juga mengirim tebu ke sana hingga 3 juta kwintal untuk digiling. Kalau di Lumajang ada PG swasta, tentu petani tidak kesulitan giling dan hasil produksi gula nasional tentu akan meningkat tanpa perlu impor lagi,” tambahnya.
Sementara itu, Sumitro Samadikun Ketua DPN (Dewan Pimpinan Nasional) APTRI dihubungi terpisah menyatakan, jika permainan pemburu rente gula dalam gonjang-ganjing kenaikan harga ini sangat kentara.
Pasalnya harga gula saat ini agak kemahalan dan khawatirnya kalau harga ini terus naik maka menjadi sinyal pemerintah akan melakukan impor gula.
“Bulan kemarin, PPI sudah diminta impor gula untuk pemenuhan kebutuhan nasional untuk stabilisasi harga. Saat ini dipersiapkan impor gula untuk menstabilisasi harga jelang ramadhan lebarang. Ini jelas. Permainan itu kentara sekali. Padahal, gula itu ada. PG masih ada gula, petani juga masih ada. Kalau gula tidak ada sama sekali baru gula tidak ada. Untuk itu, harus dilakukan audit gula guna mengetahui dimana ujung permainan ini,” tegas Sumitro Samadikun. (her/rst)