Akhol Firdaus, Koordinator Center for Marginalized Communities Studies, Kamis (19/5/2016) mengatakan, munculnya sejumlah regulasi pelarangan minuman beralkohol (mihol), baik itu Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol maupun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pelarangan Minuman Beralkohol merupakan bentuk paksa sejumlah partai untuk membajak tanggung jawab negara demi memenangkan Pemilihan Umum.
“Kelompok tirani mayoritas yang dengan kekuatannya memanfaatkan gairah demokratisasi pasca reformasi untuk membajak negara dengan sejumlah regulasi soal moral yang bernuansa syariat dan sentimen keagamaan demi pundi-pundi suara,” kata Akhol.
Dari data yang dia miliki, sepanjang 10 tahun terakhir, sedikitnya telah muncul 200 peraturan daerah yang bernafaskan syariat, diantaranya Perda tentang pelarangan minuman beralkohol. Bahkan di Jawa Timur, meskipun bukan provinsi yang menjalankan syariat Islam, namun kenyataanya sepanjang 13 tahun terakhir telah muncul 13 perda yang bernuansa syariat.
Akhol mengatakan regulasi bernuansa syariah ini bukanlah substansi dari tujuan murni kelompok tersebut, namun tujuan utamanya ialah menggunakan simbol syariat untuk merebut suara konstituen dan memenangkan Pemilihan Umum.
“Sejumlah partai nasionalis pun ikut latah dan masuk ke dalam isu ini karena mereka berpikir betapa mudahnya merebut suara konstituen dengan isu fanatisme beragama. Dengan membuat Perda yang dibiayai oleh negara, itu merupakan cara yang paling murah untuk merawat konstituen mereka,” kata alumni Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini.
Akhol mengatakan regulasi pelarangan minuman beralkohol sendiri tidak akan berdampak bagi masyarakat, justru pelarangan minuman beralkohol membuat negara kehilangan control terhadap seluruh produksi dan peredaran dari minuman beralkohol.
“Apabila negara kehilangan control itu maka dipastikan bahwa negara juga akan kehilangan tanggungjawabnya dalam mensejahterakan masyarakatnya,” kata dia.
Akhol menambahkan regulasi pelarangan minuman beralkohol ini telah membunuh demokratisasi dengan mengabaikan kelompok minoritas dalam pengambilan keputusan. (fik/ipg)