Kantor Perwakilan Ombudsmen Jatim menduga praktik pungli tidak hanya terjadi di Syahbandar Pelabuhan Tanjung Perak, melainkan juga di Syahbandar Pelabuhan Ketapang Banyuwangi.
“Praktik semacam ini kemungkinan saja juga terjadi di Banyuwangi. Kita akan investigasi itu. Pungli pengurusan buku pelaut, penyijilan awak kapal dan pembuatan surat keterangan masa berlayar ini sering menjadi ajang pungli,” kata Agus Widiyarta Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim, Senin (6/6/2016).
Agus mengatakan, untuk buku pelaut misalnya setelah jadi proses mengambilnya harus bayar Rp50 ribu.
“Seharusnya sudah tidak bayar, karena sudah dibayar melalui bank Rp10 ribu dalam bentuk Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP),” katanya.
Dalam klarifikasi di kantor Ombudsman Jatim, pihak Syahbandar Perak mengaku kaget masih adanya pungli, padahal pengurusan itu sudah menggunakan sistem online per April kemarin.
“Menurut mereka sistemnya sudh online sejak April kemarin. Tapi, setelah buku dan surat jadi harus diambil di Syahbandar. Inilah yang menjadikan ada transaksi pungli, kontrolnya tidak kuat,” katanya.
Agus mengatakan, fungsi buku pelaut bagi orang yang bekerja di pelayaran seperti Parpor. Sementara untuk surat keterangan masa berlayar, itu perlu pembaruan dari mulai rute pelayaran sampai sandar. “Ketika dia bersandar harus stempel ke Syahbandar. Stempel ini ada harganya,” katanya.
Ombudsman Jatim, kata Agus, akan melaporkan para pelaku pungli kepada Kepala Syahbandar Utama Perak.
“Kalau sistemnya tidak berubah, kami akan melaporkan Kepala Syahbandar ke pimpinan di atasnya,” katanya.(bid/rst)