Jumat, 22 November 2024

UU Penyiaran Harus Seimbang Antara Kepentingan Publik dan Industri Penyiaran

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ida Fauziyah Ketua Fraksi PKB DPR RI dalam diskusi "Industri Penyiaran" bersama Idy Muzayyad Komisioner KPI, Syahrudin Kasubdit Penyiaran Televisi Kominfo RI, dan Ade Armando dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) di ruang Fraksi PKB, Gedung DPR

Ida Fauziyah Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI berharap RUU Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI ini nantinya bisa menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan industri siaran itu sendiri. Hal itu penting setelah menyadari dampak negatif siaran belakangan ini yang justru meningkatkan kejahatan seksual terhadap anak-anak, sadis, biadab dan tidak berperikemanusiaan.

“Penyiaran publik ini milik kita semua, dan sebagai rumah bangsa, maka harus dikawal, dan dievaluasi bersama untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Jadi, harus menjawab kebutuhan masyarakat sendiri. Bukan bebas tanpa batas yang justru merugikan negara,” ujar Ida dalam diskusi “Industri Penyiaran” bersama Idy Muzayyad Komisioner KPI, Syahrudin Kasubdit Penyiaran Televisi Kominfo RI, dan Ade Armando dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) di ruang Fraksi PKB, Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (8/6/2016).

Sementara Idy berharap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan yang jelas dan tegas. Karena selama ini 70 % untuk pengawasan isi siaran, dan 30 % nya perizinan.

“Jadi, kewenangan itu sangat menggantung. Sanksi untuk isi siaran pun hanya rekomendasi penghentian sementara. Sebab, kalau penghentian tetap akan dianggap melawan kebebasan pers,” ujar dia.

Untuk peizinan siaran, Idy menyarankan sebaiknya ditangani langsung oleh pemerintah, sehingga KPI tidak perlu terlibat. Apalagi dalam hal siaran dan perizinan itu selalu ada kepentingan bisnis, politik, dan pemerintah yang sangat kuat. Untuk itu dia pesimis RUU Penyiaran ini akan rampung dengan cepat dan baik.

“Lalu di mana posisi KPI?, di siaran atau perizinan? Seharusnya cukup di siaran, karena KPI sering dianggap kecolongan dan tidak boleh galak-galak. Bahwa KPI memang bukan lembaga sensor,” ujar Idy.

Menurut dia, sanksi selama ini tidak akan membuat jera, kapok penyiaran karena sanksinya hanya teguran. Karena itu dalam RUU ini mutlak diperlukan sanksi disertai dengan denda, meski nantinya denda itu menjadi pendapatan negara.

Maka, tantangan ke depan bukan siaran TV dan radio, melainkan digitalisasi yang makin massif, sehingga pengaturannya harus diperluas dan didukung aturan yang memadai.

Lalu, apakah partai tidak boleh memiliki siaran? “Kalau itu boleh, maka akan hebat di tengah kesadaran publik masih rendah, sehingga siaran publik yang tak bagus selalu menjadi isu, dan yang tidak berkualitas ratingnya selalu tinggi. Jadi, tantangan ke depan adalah terkait kualitas konten, profesionalitas SDM, dan sensor. Karena itu KPI harus diperkuat secara kelembagaan, kewenangan, dan jenis sanksi berat, kata Idy.

Syahrudin menjelaskan jika RUU Penyiaran ini sudah ada sejak tahun 2012, dan baru kembali dibahas pada 2015, karena UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran ini tidak lagi bisa mengakomodir perkembangan teknologi digitalisasi mutakhir. Dengan demikian, maka pemerintah mendukung penguatan KPI dengan terlibat perizinan dan pengawasan konten. “Kita dukung penguatan KPI,” kata dia.(faz/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs