Sebagai seorang wanita muslim yang tinggal di negeri orang, seperti Amerika tentunya tidak mudah. Terutama, dengan menggunakan hijab, menjadi tantangan tersendiri.
Seperti yang dialami Dian Harumi Paramita, perempuan yang menjabat sebagai Community Manager di Google+. Dia, harus bertarung menjelaskan kepada semua warga negara Amerika, jika bertemu dengan orang dan saat melakukan presentasi. Bahwa, tidak semua umat muslim itu melakukan aksi teror.
“Setiap kali melakukan presentasi mengenai pengenalan Google, selalu saya sisipkan mengenai penjelasan, kalau umat muslim itu saling menyayangi sesama umat, tidak mengenal agama,” kata Dian Harumi Paramita, kepada suarasurabaya.net.
Jika, ada yang menanyakan, kata Dian Harumi Paramita, maka diapun menjelaskan, bahwa orang yang melakukan aksi teror itu hanya sepenggal umat muslim, yang mempelajari tentang islam. Tapi, tidak mengerti isi kandungan sebenarnya dalam kitab Al-Quran.
Hasilnya, perempuan yang kerap dipanggil Harumi dapat diterima di tengah kehidupan kerasnya Amerika. Bahkan, pernah mempunyai pengalaman saat ada salah seorang peserta yang ikut dalam presentasi, dan menanyakan tentang Islam.
“Ternyata tidak semua umat muslim itu khususnya warga negara Indonesia seperti yang ada di dalam berita,” ujar dia.
Menurut dia, hidup di hiruk pikuknya di Amerika Serikat, harus bisa membawa diri, dan mengendalikan emosi, tidak seperti Indonesia. Sebab, di Amerika, jika tidak bisa menahan diri dan emosi, tidak suka dengan orang akan langsung main tembak. Sedangkan kalau di Indonesia, bermain belakang dan di depan, yakni dijampi-jampi atau disantet dan dibacok.
“Jadi, kalau di Amerika Serikat, saya lebih baik beriktiar, berdoa dan diam diri menahan emosi,” kata perempuan berusia 29 tahun tersebut.
Namun, ibu dua anak tersebut mengakui, bahwa bekerja di Amerika Serikat itu cukup simple, tidaklah seperti di Indonesia. Karena, jika mendapatkan pekerjaan, kalau tidak disukai, maka dia bilang tidak suka.
“Iya maaf, kalau di Indonesia, jika bekerja mendapatkan perintah dari pimpinan ditolak tidak sesuai dengan dalam bidangnya, Insya Allah akan mendapat hal tidak diinginkan, iya dipecat. Berbeda kalau bekerja di luar negeri, seperti Amerika. Kalau tidak suka iya bilang tidak suka, dan justru mereka menyadari,” ujar dia.
Jika nanti dipaksakan, tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki, kata Harumi, pekerjaan tidak akan selesai sesuai dengan target. Meski, waktu jam bekerja itu tidaklah jauh berbeda dengan di Indonesia, yakni 9 jam kerja.
“Bekerja di sana (Google+, red) itu memang santai. Jika pekerjaan sudah diselesaikan dalam kurun waktu dua ataupun tiga jam, semuanya tidak ada kesalahan. Maka sisa waktu jam kerja bisa kita lakukan santai dan berisitirahat ataupun pulang di rumah,” kata alumnus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).
Untuk mengenai bekerja di Google+, Harumi mengakui, sangatlah berat, karena, semua orangnya itu pintar. Maka yang harus dilakukannya adalah dengan belajar dan terus melakukan inovasi ataupun terobosan, untuk saling berlomba.
Tapi, hal itu menjadikan dirinya suatu pengalaman yang positif. “Karena, dengan banyak belajar dan melakukan terobosan, jadi kita bisa lebih tahu dan mengerti. Seperti analogi saja, jika kita menemukan sesuatu yaitu jam. Jadi jangan hanya bentuk jamnya saja, tapi bagaimana kita bisa mengemasnya lebih baik dari aslinya. Hal itulah yang paling susah, tapi dihargai jika menemukan terobosan di Google+,” ujarnya.
“Untuk berat lainnya bekerja di Google+ adalah jauh dari keluarga,” kata Harumi kembali.
Untuk mengenai sukanya bekerja di Google+, adalah semua fasilitas itu lengkap. Karena, perusahaannya itu mempunyai lahan yang sangat luas. “Semua fasilitasnya itu gratis, mulai dari makan, yang terdapat 27 restoran, kemudian seperti gym, kolam renang, potong rambut, cuci pakaian, semuanya itu lengkap deh di Google+ dan fasilitasnya itu gratis,” ujarnya.
Selama hidup di Amerika Serikat, Harumi juga mempunyai pengalaman yang diluar dugaan. Sebab, saat berjalan di San Fransisco, ada seorang Fotografer untuk mengabadikan dirinya.
“Saat saya pose itulah fotografer itu mengatakan, gayanya kok seperti model. Iya saya katakan memang sewaktu di Surabaya memang sebagai seorang model, tapi saat masih belum menggunakan jilbab,” ujarnya.
Mendengar pengakuannya tersebut, ternyata sang fotografer yang baru dikenalnya itu mengorbitkannya, dengan menyebarkan informasi mengenai seorang wanita muslim indonesia hidup di Amerika Serikat menggunakan jilbab.
“Dari situlah saya pernah dinobatkan sebagai Internasional Muslim Fotomodel di San Fransisco dan California, dengan menggunakan jilbab,” kata alumnus SMA Negeri 5 Surabaya.
Bahkan, dari awal penobatan tersebut, Harumi pernah menjadi ambasador merek terkenal di Amerika. “Saya pernah menggunakan produk dari desainer hermes, sebagai seorang muslim,” ujarnya.
Dengan meraih kesuksesan di luar negeri, Harumi sendiri mempunyai harapan masa depan. Dia pun mengakui, kalau ingin mendirikan sebuah sekolah gratis di Indonesia untuk keluarga tidak mampu.
“Saya ingin mempunyai sekolah gratis, mengajarkan ilmu bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Semoga keinginan ini tercapai,” ujarnya.(bry/ipg)