Jumat, 22 November 2024

14 Tahun Festival Remo dan Yosakoi Sebagai Wujud Kerjasama Sister City

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Unik. Para penari Yosakoi kategori anak-anak ini menarikan tarian khas Kota Kochi Jepang dengan kostum dan makeup Tari Remo di Balai Pemuda, Minggu (7/8/2016). Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Riuh rendah terdengar sejak memasuki halaman Rumah Bahasa di Kompleks Gedung Balai Pemuda Surabaya, Jalan Yos Sudarso, Surabaya, Minggu (7/8/2016).

Di pintu masuk parkir terpasang papan bertulisan: parkir penuh. Remaja dan anak-anak berkerumun di halaman Rumah Bahasa. Mereka mengenakan kostum tari yang khas Suroboyo. Tari Remo.

Sejak pagi, para remaja dan anak-anak ini berkumpul menyiapkan diri untuk tampil dalam Festival Remo yang digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya setiap tahunnya.

Tidak hanya tari remo, ada beberapa kelompok remaja dan anak-anak yang mengenakan kostum berbeda. Kostum yang identik dengan kimono, pakaian khas Jepang.

Sejak 2002 lalu, Festival Remo memang digelar berdampingan dengan Festival Tari Yosakoi. Sudah 14 tahun festival ini menjadi perwujudan kolaborasi budaya antara Kota Surabaya dengan Kota Kochi, Jepang sebagai sister city.

Sebagai bentuk penghormatan, Festival ini sengaja digelar di bulan yang sama dengan Festival Yosakoi yang berlangsung antara 9 Agustus hingga 12 Agustus setiap tahunnya, di Kota Kochi, Jepang.

Ada ciri yang mirip antara Tari Remo dengan Yosakoi. Keduanya sama-sama rancak. Mengharuskan gerakan kaki dan tangan yang dinamis.

Remo lebih didominasi gerakan kaki yang menghentak-hentak. Karena gerakan kaki ini menimbulkan bunyi yang khas dari binggel (gelang kaki) yang dikenakan oleh masing-masing penari.

Sedangkan Yosakoi, lebih dominan gerakan tangan. Sebab kedua tangan para penari diharuskan menggenggam alat perkusi yang biasa disebut Naruko.

Di Festival itu, kedua tari khas masing-masing kota ini ditarikan oleh sekelompok penari dalam sebuah grup berdasarkan kategori. Ada kategori dewasa dan anak-anak.

Festival Remo 2016 diikuti sebanyak 31 kelompok anak-anak, serta 11 kelompok remaja dari berbagai sanggar di Surabaya. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang penari.

Sedangkan Festival Yosakoi diikuti 13 kelompok dari kategori anak-anak dan 24 kelompok peserta kategori dewasa. Uniknya, karena kostum tari Yosakoi ini bebas, beberapa sanggar mengkolaborasikan kostum remo untuk dikenakan para penari Yosakoi.

Maulisa Nusyara Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Surabaya mengatakan, Festival Remo dan Yosakoi ini merupakan simbol persahabatan kedua kota.

“Kami menyandingkan dua tari tradisional ini dalam satu festival sebagai implementasi sister city antara Surabaya dengan Kochi. Ini wujud kerjasama di bidang budaya. Kedua kota juga melakukan kerjasama di bidang lainnya,” kata perempuan yang biasa dipanggil Ica.

Kerjasama lain, kata Ica, di bidang pendidikan, berbentuk pertukaran pelajar antara kedua kota. Selain itu, kerjasama dalam hal tata kelola kota juga dilakukan antara Surabaya dengan Kochi.

“Bidang tata kota, kami (Pemerintah Surabaya,red) juga banyak belajar perkembangan kemajuan kota dari mereka (Pemerintah Kochi),” ujarnya.

Khusus Festival Remo, Ica mengatakan, kegiatan ini adalah upaya mengenalkan budaya asli Surabaya sejak dini kepada anak-anak di Surabaya.

“Meskipun Remo ini juga ada di daerah lain di Jawa Timur, tapi Remo Surabaya ini punya ciri khas sendiri. Festival ini sebagai bentuk pelestarian sekaligus pembinaan,” katanya.

Regenerasi Remo, menurut Ica, perlu dilakukan. Sebab, setiap tahunnya para peserta dari masing-masing sanggar terus berganti.

“Kalau tahun ini peserta yang ikut anak-anak kelas dua (SD,red), belum tentu tahun depannya ikut lagi. Jadi ini juga upaya untuk regenerasi,” katanya.

Sayangnya, seni di Surabaya memang belum bisa menjadi sebuah profesi yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ini bisa terlihat dari anggaran APBD untuk para seniman yang terbilang sangat minim. Misalnya untuk kesenian ludruk di Surabaya. Bantuan kesenian yang diberikan untuk puluhan komunitas ludruk di Surabaya hanya belasan juta rupiah saja per tahunnya.

Festival Remo 2016, diakui Ica, bukan merupakan festival yang akan merangking juara. Penghargaan bagi kelompok tari remo terbaik adalah pembinaan dari Pemkot.

“Kami akan ajak kelompok penari terbaik dalam setiap kegiatan kepemerintahan. Seperti PrepCom3 UN Habitat kemarin, kami juga mengajak kelompok-kelompok ini untuk tampil,” katanya.(den/dwi)

Teks Foto:
1. Festival Tari Remo di Balai Pemuda.
2. Festival Tari Yosakoi di Balai Pemuda, Minggu (7/8/2016).
Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs