Teater Gandrik kembali hadir di Surabaya. Mereka akan tampil memainkan naskah “Para Pensiunan” karya terakhir sutradara almarhum Djaduk Ferianto, di Ciputra Hall Surabaya, 6-7 Desember 2019, pukul 19.00 WIB.
Butet Kartaredjasa Pimpinan Produksi Teater Gandrik mengatakan ada beberapa hal yang membuat rombongannya datang ke Surabaya. Putra seniman legendaris Bagong Kussudiardjo itu mengaku kagum dengan Teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) saat memainkan naskah-naskahnya di Jogjakarta.
“Saya kagum dengan almarhum Basuki Rakhmat sebagai sutradara Bengkel Muda Surabaya, saat mementaskan Darmi Darmo, dan Lingkaran Keadilan. Ketika itu salah seorang pemainnya, Bawong Suatmadji Nitiberi, bermain sangat mempesona dalam dua karakter yang berbeda. Di situlah, ikatan saya dengan Surabaya mulai tumbuh, ketika itu saya masih SMA,” kata Butet, Kamis (5/12/2019).
Momen bersejarah tahun 1987 itulah yang membangkitkan minatnya untuk menggeluti seni teater sampai sekarang. Itu pula yang membuatnya tidak bisa melupakan Surabaya dalam hal teater. Butet bergabung ke dalam Teater Gandrik pada tahun 1985.
Kedua, lanjut dia, penyelenggaraan pentas Teater Gandrik di Surabaya sudah beberapa kali digelar di Surabaya. Yaitu sejak 1997, ketika maraknya reformasi hingga beberapa kali mendapat perhatian dari publik di Surabaya.
“Bahkan, yang terkesan bagi kami, Jawa Pos telah memberi ruang bagi Teater Gandrik untuk tampil di Surabaya. Nah, kini dilanjutkan ngopibareng.id, dengan naskah lakon Para Pensiunan ini,” tuturnya.
Terakhir di Surabaya pada 2017, Teater Gandrik mementaskan lakon “Gundala Gawat”. Sehingga, pementasan lakon “Para Pensiunan” merupakan bangunan keakraban yang telah dibina sebelumnya dan dilanjutkan hingga kini di Surabaya.
Sementara itu, Susilo Nugroho salah seorang pendiri sekaligus Sutradara Teater Gandrik menjelaskan, naskah lakon yang disusunnya bersama Agus Noor, terjadi beberapa kali perombakan.
“Setiap pentas, terjadi perubahan menyesuaikan dengan kondisi publik. Seperti di Surabaya, kami menulis ulang (rewrite) untuk disesuaikan dengan kebutuhan panggung dan publiknya penonton,” tutur Susilo Nugroho, yang dipercaya menggantikan Djaduk Ferianto (almarhum), sebagai Sutradara dalam lakon Para Pensiunan ini.
“Kami ini rombongan orang goblok, tapi ngaku pintar. Setiap kali membaca berita, selalu yang muncul soal koruptor yang ditangkap. Nah, akhirnya kami selalu mempunyai anggapan setiap Presiden Indonesia adalah orang baik,” tuturnya.
Karena itu, kata dia, munculnya imajinasi ke depan hingga 30 tahun, sebagai latar cerita dalam naskah Para Pensiunan ini. Imajinasi ketika para koruptor harus bertanggung jawab, tidak boleh dikubur. Karena dua alasan, koruptor punya dua kesalahan. Kesalahan pada negara, dan kepada masyarakat.
“Salah pada negara, koruptor dihukum. Tapi, salah kepada masyarakat, harus dipertanggungjawabkan dengan tidak boleh dimakamkan. Jadi, mayatnya bisa gentayangan karena dijadikan bahan untuk pupuk dan makanan ternak,” kata Susilo Nugroho.
Terkait persiapannya di Surabaya, Susilo mengaku Teater Gandrik sempat mengalami suasana prihatin. Ini karena Gregorius Djaduk Ferianto sutradara “Para Pensiunan” meninggal dunia, pada 14 November 2019 lalu.
“Kalau secara psikologis iya tentu. Karena mengingat pertemanan, persaudaraan kami yang sangat erat. Namun untuk teknis tidak terlalu berpengaruh. Kami tetap profesional mempersiapkan diri tampil di Surabaya,” kata dia. (ang/tin)