Sabtu, 23 November 2024

Sulistina Sutomo dan Mimpinya yang Belum Terwujud

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Sulistina Soetomo, istri Bung Tomo melihat koleksi uang kuno Bank Indonesia (BI) Surabaya, tahun 2010 lalu. Foto: Dok. suarasuarabaya.net

Sulistina Sutomo lahir pada 25 Oktober 1925, beliau adalah istri Bung Tomo, Pahlawan Nasional asal Surabaya. Bung Tomo dikenang dengan pekik orasinya saat melawan tentara sekutu yang datang hendak menjajah kembali Bangsa Indonesia.

Bambang Sulistomo, anaknya dan beberapa situs menyatakan Sulistina adalah sosok yang sangat bersemangat. Di usianya yang tak lagi muda, dia masih terus berusaha mewujudkan mimpinya yaitu Taman Perdamaian Suryo Mojopahit (TPSM). Sulistina membayangkan taman ini seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tapi berisi budaya beragam negara.

Dalam visinya, beliau ingin sekali generasi muda Indonesia bisa merasakan indahnya perdamaian melalui perkenalan aneka budaya luar negeri. Dan sebaliknya, beliau berharap taman ini bisa jadi jendela budaya kita kepada sahabat-sahabat di luar negeri.

“Ibu ingin membangun kembali Suryo Majapahit di Trowulan. Ibu ingin generasi muda tahu bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan dihormati,” kata Bambang kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (31/8/2016) pagi.

Sulistina bertemu Bung Tomo di Surabaya pada tahun 1945. Saat itu, perempuan asal Malang ini bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI). Dia dan tim PMI Malang dikirim khusus ke Surabaya untuk merawat para pejuang yang gugur dan terluka dalam peristiwa bersejarah 10 November.

Bung Tomo, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang saat itu sudah menjadi idola rakyat, selalu mencari perhatian ketika Sulistina bekerja merawat para pejuang yang terluka di tenda-tenda pertolongan.

“Ah kamu kok sombong temen nang aku, enggak noleh aku blas, padahal liane delok aku, (Ah kamu kok sombong sekali dengan saya, tidak melihat sama sekali, padahal lainnya melihat aku),” kata Bung Tomo seperti dikenang Sulistina dalam artikel di catatanakasah.blogspot.co.id.

Tak lama berselang, Bung Tomo berhasil menikahi Sulistina di Malang pada tahun 1947. Selama menjalani biduk rumah tangga, Bung Tomo terus merajut romantisme melalui surat-surat yang dikirimkannya ketika dia bertugas ke luar kota. Selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga sering berpesan supaya Sulistina terus merindukannya.

Bung Tomo memberi panggilan “Tiengke” atau sayang kepada Sulistina. Kata itu selalu menghiasi kop surat yang dikirim Bung Tomo kepadanya. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke sayang”.

Berdasarkan surat-surat itu, dia menulis buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan” pada tahun 2006 lalu.

Bung Tomo yang sibuk dengan tugasnya, saat pulang ke rumah selalu memanjakan Sulistina, istrinya. Ketika hanya berdua tanpa anak-anak, Bung Tomo mengajak dia berdansa.

Ketika Bung Tomo meninggal pada tahun 1981 di Makkah, kata Sulistina, dia berkali-kali bermimpi dipeluk Bung Tomo yang menggunakan baju biru. “Di samping kanan dan kirinya ada dua penjaga, kayak bidadari gitu. Tapi ia menolak, dia memilih memeluk saya dengan hangat. Berarti sampai saat ini dia tetap setia menunggu saya sebagai bidadari satu-satunya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Sulistina tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.

Salah satu surat yang termuat dalam buku keempatnya Lies menulis: “20 Desember 2004. Untuk Suamiku. Kemarin tanggal 18 (Desember 2004, red) saya telah menghadiri peluncuran buku Tarbawi dengan anak kita Bambang Sulistomo. Saya telah tertarik dengan surat undangannya, karena di situ tercantum nama Mas Tom. Meskipun saya masih sakit, karena tangan saya yang kiri masih dalam gendongan, saya perlukan datang. Saya waktu itu sedang pulang dari sholat Idul Adha, jatuh di tengah jalan dan tangan saya yang kiri patah”.

Menurut Sulistina, ada ajaran Bung Tomo yang sering didengungkan kepada keluarga dan masyarakat waktu itu, yakni jujur dan berjuang. “Jika kita jujur, sehingga tidak merugikan orang lain, sehingga bisa memakmurkan orang lain,” ujarnya.

Perlu diketahui, Hj Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, wafat pada usia 91 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016) pukul 01.24 WIB. Rencananya jenazah akan dibawa ke Surabaya, disemayamkan dan dilakukan shalat jenazah di Masjid Al Akbar Surabaya. Jenazah kemudian akan dimakamkan di samping puasara Bung Tomo di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngagel Surabaya.(iss/ipg)

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs