Wilayah hutan Lumajang memiliki potensi komoditi getah damar yang cukup relatif besar. Dimana, komoditi damar ini dibudidayakan di areal hutan produksi seluas 8.697 hektar oleh SKPH (Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perum Perhutani Lumajang .
“Komoditi sadapan getah damar kita budidayakan di hutan wilayah BKPH Senduro dengan luasan 8.697 hektar,” kata Mukhlisin Waka Administratur SKPH Perum Perhutani Lumajang kepada Sentral FM, Selasa (13/9/2016).
Hasil produksi sadapan getah damar yang dihasilkan pertahunnya bisa mencapai 85 ton. “Seluruh hasil produksi ini, diekspor untuk memenuhi permintaan dari India,” paparnya.
Untuk getah damar, hasil produksinya dijual dalam bentuk mentah tanpa pengolahan seperti yang dilakukan untuk getah pinus. Getah hasil sadapan damar setelah diproduksi langsung disortasi dengan pemilihan ulang di Probolinggo. Selanjutnya dilakukan penjualan.
“Harga jualnya di pasaran, saat ini perkilogramnya mencapai Rp14 ribu. Sehingga bisa dihitung nilai ekspor yang diperoleh dari produksi getah hasil sadapan damar pertahunnya yang mencapai milyaran rupiah,” terangnya.
Untuk memproduksi getah damar, Perhutani juga tidak bekerja sendirian. Pasalnya, Perhutani melibatkan masyarakat desa hutan untuk menggarap lahan hutan damar yang ada. Masyarakat dilibatkan dalam bentuk pemberdayaan untuk merawat pohon dan menyadap getah damar rutin harian.
“Masyarakat kami fasilitasi sarana dan prasarana, dipungut dan diberi biaya pungut. Jumlahnya sesuai mutu getah damar yang dihasilkan,” jelasnya.
Untuk mutu utama atau disebut UT, hasil sadapan getah damar perkilogramnya akan diberikan upah pungut Rp4 ribu. Sedangkan untuk mutu terendah dengan kriteria P, diberikan upah pungut Rp2 ribu perkilogramnya.
“Untuk mutu getah damar kualitas utama atau UT, sebenarnya tergantung perlakuan dari penyadap. Kalau mampu menyadap dengan mutu bagus, maka akan mendapatkan UT. Ini semata-mata untuk mendorong penyadap bekerja dengan giat dan baik. Makanya antara mutu UT dan P beda upah pungutanya separuh,” bebernya.
Dalam pemberdayaan masyarakat untuk penyadapan getah damar ini, Perhutani mempergunakan prinsip bekerja sesuai dengan hasil yang diperoleh. “Sehingga semakin rajin bekerja maka penyadap akan menghasilkan lebih banyak. Orang yang rajin akan mendapatkan banyak. Kalau tidak rajin tidak mendapatkan penghasilan banyak,” ujarnya.
Penyadapan getah damar di hutan seluas 8.697 hektar yang terletak di tiga RPH, masing-masing Besuk Sat, Senduro dan Gucialit ini, Perhutani melibatkan total 135 keluarga penyadap. Keluarga penyadap terdiri dari suami, istri dan anak yang bermukim di pinggiran hutan.
“Kami memang tidak mempekerjakan orang dari luar kawasan hutan. Ini kami lakukan karena mereka (keluarga penyadap, red) juga bertugas melestarikan dan mengamankan areal hutan. Tapi kalau masyarakat Desa hutan tidak ada yang mau bekerja menyadap,baru akan didatangkan dari daerah lain,” urainya.
Produktivitas hasil sadap setiap keluarga penyadap setiap dua pekannya, mampu menghasilkan 150 sampai 200 kilogram getah damar. Hasil ini tentunya sudah mampu menopang kebutuhan sehari-hari keluarga penyadap. “Ditambah lagi, nantinya mereka juga akan mendapatkan sharing hasil produksi kayu saat masuk tebangan,” ujarnya.
Dimana, produktivitas pohon damar mulai berumur 16 tahun sampai umur 40 tahun yang selanjutnya di afkir dengan ditebang. Di areal hutan damar Lumajang terbagi anak petak yang masing-masing lokasi berbeda susunan kelas hutan dan umurnya.
“Jadi tidak seumur semua, sehingga produksi getah damar terus berlanjut. Setelah di petak satu afkir lalu ditebang, penyadapan berpindah ke petak lain yang masuk usia sadap, begitu seterusnya. Dan saat ini di areal hutan damar yang masuk kategori produksi, hanya 15 persen dari total keseluruhan tanaman yang ada,” pungkas Mukhlisin. (her/dwi).
Teks Foto :
– Potret penyadapan getah damar di areal hutan wilayah Kecamatan Senduro.
Foto : Ist.