Dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi dan UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi sudah menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah itu wajib mencegah beredarnya pornografi. Karena itu kalau di daerah ada pembiaran dan apalagi penyebaran porno khususnya yang melibatkan anak-anak, maka Pemda harus menutup, mensegel dan menindak tempat maksiat tersebut. Hal itu sebagai langkah bahwa Indonesia ini beragama dan ber-Pancasila.
“Jadi, kalau ada warnet, bioskop, dan prostitusi yang membiarkan dan menyebarkan pornografi dan pornoaksi, maka pemerintah daerah berkewajiban menutup atau mensegel tempat tersebut, karena Indonesia adalah negara beragama dan ber-Pancasila. Dimana kemaksiatan itu bertentangan dengan nilai-nilai agama dan Pancasila sebagai jatidiri bangsa,” ujar Tifatul Sembiring Ketua Fraksi PKS MPR RI dalam dialog empat pilar MPR RI dengan tema “Fenomena Penyimpangan dan Degradasi Moral Masyarakat” bersama Erlinda Kepala Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (19/9/2016).
Menurut Tifatul, omset bisnis porno memang menggiurkan, karena di tahun 2012 saja transaksinya mencapai10 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 130 triliun. Sementara omset dari pengguna nomor Telkomsel saja di Indonesia mencapai Rp 500 triliun dari pengguna sekitar 370 juta orang pengguna.
“Jumlah situs sendiri di dunia mencapai 3 miliar, dan dari jumlah itu kita tidak tahu berapa jumlah situs pornonya. Dulu, Kominfo menutup sejutaan situs,” ujar dia.
Hanya saja penutupan situs itu tidak perlu anggaran, karena yang menutup adalah operator. Tapi, dampaknya muncul situs LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Karena itu politisi PKS itu meminta masyarakat mencermati RUU Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Pemblokiran yang paling efektif tersebut kata Tifatul adalah dari otak dan hati setiap orang, sehingga orang tua dalam keluarga wajib mengontrol dan mendidik anak-anak agar anak-anak beriman takwa, berakhlak mulia, menjadi anak yang soleh-solehah sebagai calon pemimpin bangsa ke depan.
“Jadi, kita harus kembali ke jati diri bangsa, dan menghidupkan kembali ke local wisdom (kearifan lokal) berbarengan dengan terus-menerus melakukan sosialiasi empat pilar,” kata dia.
Dimana akhir-akhir ini local wisdom tersebut sudah hilang. “Jadi, tanpa nilai-nilai agama, keluarga, Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka kita tak akan memiliki pegangan hidup (way of life), dan akan lepas control dan berbahaya bagi anak bangsa ini,” kata Tifatul.
Sementara Erlinda menilai penyimpangan seksual khususnya terhadap anak ini sudah darurat. Sama halnya dengan narkoba yang bisa merusak anak-anak bangsa ke depan.
“Masa dalam kasus prostitusi anak di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu itu, anak-anak sudah didoktrin kalau mau menjadi orang hebat dan terkenal, maka gaya hidupnya harus begini (LGBT),” kata Erlinda.
Namun dia menyayangkan ternyata di lapangan banyak elemen masyarakat yang tidak memiliki komitmen sama tentang penghapusan kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak ini. Hal itu banyak terjadi di NTB, NTT, dan Pantura Jawa.
“Ini bencana nasional khususnya di daera-daerah terpencil itu eksploitasi anak ini sangat mengerikan. Bahkan ada anak yang harus melayani 4 hingga 13 lelaki hidung belang. Jadi, mau dibawa kemana peradaban bangsa ini?” ujar Erlinda mempertanyakan.
Menurut Erlinda, dalam kasus Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) sesuai dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, terjadi 3.000 perdagangan anak.
“Jadi, kita minta kepolisian, kejaksaan dan hakim dalam menegakkan hukum dengan perspektif anak,” kata dia.(faz/ipg)