Pemerintah Suriah menyatakan, Indonesia telah membuktikan diri sebagai sahabat sejati negara yang dicabik-cabik perang saudara selama lima tahun terakhir melalui Pekan Film Indonesia.
Majid Sorem Direktur Kebudayaan Suriah mengatakan, “Indonesia telah mendobrak “embargo kebudayaan” terhadap Suriah dengan dimulainya penyelenggaraan Pekan Film Indonesia di Suriah ini.”
Majid Sorem meminjam istilah embargo ekonomi yang sedang dialami oleh Suriah dalam pernyataannya sebagaimana termuat dalam siaran pers Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Damaskus, dilansir Antara, Minggu (25/9/2016).
Pekan Film Indonesia digelar oleh KBRI Damaskus di tiga kota besar di Suriah. Antara lain di Lattakia pada 21 September hingga 3 Oktober 2016, di Homs pada 28-30 September 2016, dan terakhir di Damaskus mulai 5 Oktober hingga 8 Oktober mendatang.
Sampai Jumat 23 September lalu, film-film Indonesia seperti “Habibie-Ainun”, “5cm”, dan “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, memukau warga kota Lattakia. Pada sesi diskusi film “5 cm” 22 September lalu, Majid Sorem memuji sikap Indonesia yang tetap bersahabat dengan Suriah ketika banyak negara di dunia memusuhi Suriah.
Dia menyanjung Indonesia karena tetap membuka kedutaannya di Damaskus dengan kepala perwakilan setingkat duta besar. “Kami berharap Pekan Film Indonesia ini bukan yang pertama dan terakhir di Lattakia. Berikutnya bukan hanya film, tetapi juga kesenian Indonesia lainnya kami tunggu pagelarannya di Lattakia,” kata Gubernur Lattakia Mayjen Ibrahim Khudur al-Salim.
Ibrahim menyatakan Lattakia mendapatkan kehormatan dipilih menjadi kota pertama diselenggarakannya Pekan Film Indonesia yang pertama kali digelar di Suriah itu. Ibrahim turut menonton “Habibie-Ainun” hingga selesai dan dia mengaku kagum kepada patriotisme Habibie dan kehebatan bangsa Indonesia dalam industri dirgantara.
Film-film Indonesia dalam festival di tiga kota ini juga membuat kagum banyak warga Suriah. Lidya Jarkas, mahasiswi Universitas Tishreen Lattakia mengungkapkan, secara khusus terkesan dengan film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Menurutnya, film tersebut adalah favoritnya selama menonton tiga hari berturut-turut di Lattakia.
“Film ini sangat menyentuh hati,” jawab Lidya sambil menyeka air mata. “Herjunot Ali dan Pevita Pierce layak dapat Oscar karena memainkan peran Zainuddin dan Hayati pada film Kapal Van der Wijck ini.”
Thareq Kherbek, kritikus film asal Lattakia yang tak sehari pun melewatkan film-film Indonesia dalam Pekan Film Indonesia itu, menilai strategi KBRI Damaskus menggunakan film sebagai alat promosi, sangat tepat. Pekan Film Indonesia, kata Thareq, strategi yang jitu di tengah masyarakat Suriah yang bosan dan lelah dengan konflik.
Sebab, sebuah film tidak hanya mengandung gambar, musik, dan cerita, tapi juga nilai, emosi, dan kebudayaan yang terbungkus apik di dalamnya. “Saat menonton film, kita secara langsung tetapi tidak sadar sedang disuguhi promosi tentang pemandangan, musik, nilai, sekaligus keluhuran kebudayaan Indonesia selama berjam-jam lamanya,” kata Thareq.
A.M. Sidqi Pejabat Penerangan Sosbud KBRI Damaskus menyebut tujuan pemutaran film Indonesia ini, salah satunya untuk mengembalikan citra positif Indonesia yang sering dianggap sebagai “bangsa pembantu” oleh negara-negara Arab, termasuk Suriah.
“Setelah Pemerintah RI menghentikan pengiriman TKI ke seluruh negara Arab, termasuk Suriah, saatnya kita mengenalkan wajah positif dan keren Indonesia melalui film,” kata Sidqi.(ant/den/dwi)