Sabtu, 23 November 2024

Tax Amnesty Masih Sisakan Problem Keadilan

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk Tax Amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan, di Ruang Kahuripan 300, Gedung Manajemen, pada Selasa (27/9/2016).

Prof. Kacung Maridjan, Ph.D, Guru Besar Ekonomi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unair menilai kemampuan pemerintah untuk melakukan penarikan pajak mengalami penurunan. Sehingga, program tax amnesty (pengampunan pajak) diharapkan bisa menjadi stimulator bagi pertumbuhan ekonomi.

Hal itu disampaikan dalam Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk Tax Amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan, di Ruang Kahuripan 300, Gedung Manajemen, pada Selasa (27/9/2016).

Menurut Prof. Kacung, bila defisit mencapai maksimal tiga persen dari produk domestik bruto, maka presiden bisa berpotensi dimakzulkan.

“Bila defisit itu mencapai tiga persen dari PDB, politik akan gaduh karena presiden melanggar undang-undang. Presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden,” kata Prof. Kacung, seperti dalam siaran pers Universitas Airlangga.

Menurut Prof. Kacung, kebijakan amnesti pajak dirasa tidak mempertimbangkan asas keadilan karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai.

“Iya, ini memang tidak adil. Artinya, orang yang nakal sama yang tidak menjadi sama kedudukannya. Hanya saja, akan lebih tidak adil lagi apabila negara secara terus menerus membiarkan orang yang mengemplang. Saya kira negara ini mengambil suatu posisi, kalau dilanjutkan terus, maka lebih tidak adil. Makanya harus ada kebijakan untuk memangkas pengemplang pajak. Akhirnya, ya sudah diampuni kan diskresi,” ujarnya.

Sementara, Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D, Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga menyayangkan sedikitnya jumlah wajib pajak yang terdaftar. Nyatanya, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya berkisar 18 juta. “Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, atau jumlah seluruh pebisnis Indonesia, 18 juta itu sedikit sekali,” katanya.

Prof. Tjipto menganggap, salah satu faktor diadakannya program amnesti pajak ini didasari atas banyaknya orang atau badan bisnis yang tidak taat pajak.

Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS., Guru Besar Hukum Administrasi Fakultas Hukum Unair menyampaikan bahwa kebijakan amnesti pajak bukan berarti tak menyisakan problem yuridis. Pasalnya, kondisi di lapangan masih ada pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan.

Menurut Prof. Tatiek, hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman amnesti pajak yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. “Dalam Pasal 2 UU No 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,” ujarnya.

Terkait penegakan hukum dalam konteks hukum administrasi, Prof. Tatiek menyebut ada dua unsur yang melandasi, yaitu pengawasan dan pemberian sanksi. “Pejabat yang memiliki wewenang harus melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengampunan pajak, oleh karena dari instrumen pengawasan ini, sanksi berupa administrasi baru dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran,” jelasnya.

Prof. Tatiek mengimbau, agar pemerintah selaku pengelola pajak dan masyarakat Indonesia harus saling percaya. Agar reformasi sistem perpajakan tersebut dapat berjalan untuk Indonesia yang lebih baik.(iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs