Di sebelah selatan Masjid Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, di dekat gudang, ada jalan menuju ke lapangan tempat tenda-tenda santri padepokan berada.
Jalan sempit yang hanya bisa dilewati dua orang sebelum pintu menuju lapangan ini bercabang. Belok ke kiri, masih ada tenda-tenda santri dan toilet umum yang dibuat seadanya.
Toilet umum ini dibuat dari terpal yang disanggah bambu dan kayu. Tidak berpintu. Sebagai gantinya, terpal bertuliskan “WC khusus Laki-laki atau wanita” untuk menutupi toilet ini.
Terus ke belakang, ada saung bambu untuk tempat berkumpulnya santri, yang berada diantara dua tembok pembatas. Di saung itu, duduk seorang santri laki-laki.
Saat itu, Sabtu (1/10/2016) siang, rombongan Komisi III DPR RI sedang berkunjung ke tenda para santri. Mereka menemui santri laki-laki bernama Maturidi (55) yang berasal dari Bangkalan.
Akbar Faizal Anggota Komisi III DPR RI bertanya, apakah Maturidi mengetahui bahwa Taat Pribadi sedang berada di mana? Maturidi menjawab, tidak tahu.
Faizal pun menjelaskan bahwa Taat Pribadi sekarang berada di tahanan Polda Jatim karena telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan dan penipuan.
“Apa bapak tetap mau tinggal di sini? Masih mau jadi santri di sini?” Kata Faizal.
“Ya kalau memang sudah terbukti seperti itu ya tidak. Ini saya juga mau pulang,” kata Maturidi.
Maturidi yang merupakan pensiunan Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi di Bangkalan mengaku sudah hendak pulang karena dia memang jarang menetap di padepokan.
“Sampai saat ini saya belum pasti ada sinyal, kalau itu betul-betul zalim. Kalau sudah jelas zalim, untuk apa tetap di sini,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Sabtu siang itu.
Maturidi mengaku bergabung ke Padepokan untuk mencari ilmu. Dia mengatakan, bukan ilmu yang dimiliki oleh Taat Pribadi, tapi ilmu secara umumnya.
“Saya tidak melihat personnya, ilmunya yang saya lihat. Ilmu kan luas. Karena menuntut ilmu itu kan sampai ke liang lahat,” katanya.
Tapi setelah bergabung menjadi santri selama lebih dari satu tahun di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, dia mengaku tidak ada ilmu apapun yang bisa diambil. Dia juga tidak pernah melihat langsung Taat Pribadi mengeluarkan uang.
“Ya hanya kumpul-kumpul sama teman. Ibaratnya, sebelumnya saya berhubungan sama banyak bawahan, kalau enggak ada teman bisa stres,” ujarnya.
Saat bergabung, Maturidi mengaku hanya membayar 50 ribu biaya sukarela. Sesudahnya, dia tidak pernah menyetorkan uang lagi. Dia pun jarang mengikuti kegiatan istighosah di Padepokan.
“Biasanya bawa mobil dengan istri, malam Minggu berangkat, Minggu pulang. Kadang-kadang enggak menginap. Memang untuk refreshing. Karena anak sudah jauh-jauh. Anak saya dua, sudah kerja semua, jauh-jauh. Mau cari hiburan apa lagi,” ujarnya.
Ditemui di depan Masjid usai pertemuan Komisi DPR RI dengan Marwah Daud Ibrahim, Satrio mantan santri asal Besuki, Situbondo mengatakan praktik Taat Pribadi hanyalah memindahkan uang dengan ilmu gaib.
“Uang yang dipindah ya uang mahar dari santri-santri itu. Saat acara santunan 10.000 orang, paling hanya 700 orang saja dari warga, yang banyak hadir ya santri-santrinya,” katanya.
Satrio yang mengaku telah menjadi santri Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi sejak awal berdiri atas ajakan almarhum Abdul Gani mengatakan, jumlah santrinya memang sangat banyak lebih dari 20 ribu orang.
“Semua santri itu saya kira 40 persen tidak percaya, hanya karena merasa takut. Orang-orang di sini (santri) sudah seperti buah simalakama. Mau pulang ditagih orang, mau di sini ya bagaimana,” ujarnya.(den/dwi)
Teks Foto:
– Toilet Umum di belakang tembok pembatas lapangan tempat tenda-tenda santri Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi.
Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net