Fahri Hamzah Wakil ketua DPR RI mengatakan, Komisi III di masa yang lalu pernah membuat keputusan agar dalam masa pilkada, aparat penegak hukum tidak memproses seorang kandidat karena berpotensi menciptakan kerusuhan sosial pada tingkat pendukung dan konstituennya.
“Tetapi anjuran itu lebih banyak pada kasus pidana yang terkait dengan korupsi atau pidana yang potensi instabilitas sosialnya muncul belakangan,” kata Fahri di Jakarta, Sabtu (15/1/2016).
Menurut Fahri, dalam kasus dugaan pelanggaran pasal perbuatan pidana pada Ahok maka kekisruhan dan keresahan sosial sebetulnya sudah terjadi. Oleh sebab itu, pilihannya justru mempercepat proses hukum, karena langkah inilah yang bisa mengakhiri ketidakpastian.
“Jika aparat hukum justru menunda, sementara keresahan masyarakat terus meningkat, maka tidak saja pilkada yang terganggu tetapi kita sebagai warga jakarta dan seluruh warga negara yang terganggu,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang (UU) pilkada justru dengan alasan stabilitas sosial dan politik, maka pilkada bisa ditunda sejenak dan membiarkan situasi masyarakatnya kondusif untuk mengikuti pilkada.
“Jangan lupa ini ibukota. Penegak hukum dan keamanan tidak boleh membuat spekulasi,” kata dia.
Sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) gubernur DKI Jakarta yang juga calon gubernur petahana dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena diduga melakukan tindakan pidana berupa penistaan agama. Ahok menyebut surat Al Maidah ayat 51 dianggap membodohi publik berkaitan dengan pemilihan seorang pemimpin.
Ahok akhirnya meminta maaf ke publik lewat media dan mengatakan kalau ucapannya tersebut tidak bermaksud menistakan agama. Ahok juga meminta agar permasalahan ini tidak diangkat lagi demi keutuhan berbangsa dan bernegara.
Ternyata permintaan maaf Ahok itu tidak cukup, karena Jumat (14/10/2016) kemarin, ribuan massa umat Islam melakukan unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta dan Bareskrim Polri menuntut proses hukum terhadap Ahok tetap dilanjutkan. (faz/tit)